”Kami secara hukum tidak wajib. Namun masalahnya kami memang tidak sanggup lagi karena harga gula sangat rendah. Terakhir gula di pasaran cuma Rp 7900. Siapa yang mau kasih talangan? Kami juga sudah segini,” imbuhnya sembari meletakkan telapaknya di antara leher dan dagu.
Posisi PTPN XII diakui Khoiri sangat lemah. Penetapan HPP oleh pemerintah tidak memiliki daya paksa.
Banyak gula yang dilelang nilainya di bawah HPP. Pemerintah tidak bisa melakukan tindakan apapun. Begitu juga dengan pabrik gula yang tidak bisa campur tangan dengan proses lelang.
Dana talangan yang diberikan PTPN XI pada 2012 dan 2013 nilainya mencapai triliun-an Rupiah. Pada 2012, kucuran dana talangan menembus angka Rp 1,402 triliun. Kemudian di tahun selanjutnya naik menjadi Rp 1,478 triliun. Pada periode 2014, PTPN XI sudah mengucurkan dana Rp 634,3 miliar.
Pada tahun pertama pencairan dana talangan, gula terserap di pasaran sehingga uang hasil penjualan petani bisa diputar untuk membayar hutang. Apalagi, harga lelang selalu di atas harga dana talangan.
Petani pun merasakan keuntungan. Sehingga bisa lancar berproduksi.
Di tahun kedua, situasi tetap masih stabil meskipun harga lelang turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 9.000.
Meski turun, harga lelang masih jauh di atas dana talangan dan HPP yang dipatok Rp 8.100. Dia mengklaim, selisih keuntungan itu seratus persen masuk kantong petani.
Sampai Oktober, stok gula di gudang PTPN XI mencapai 276.913 ton dan 140.275 ton diantaranya adalah milik PTPN XI. Setiap tutup tahun, gudang gudang PTPN XI hanya harus menyisahkan 30 ton saja.
”Artinya, gudang kami melimpah. Gula yang lama ngendon di gudang nilainya terus turun. Kami juga harus berburu waktu untuk menjual sesuai target,” ujarnya.
Ditambahkan Agung Yuniarto, staf Sekper PTPN XI, permasalahan muncul saat memasuki 2014. Direksi melihat, harga gula di pasaran terus merosot.
Kemudian, pemerintah menetapkan HPP pada Mei. Direksi sendiri sempat ingin melepaskan petani tanpa bantaun dana talangan.
Namun, managemen memilih tetap mengupayakan dana talangan itu dengan catatan disesuaikan dengan kemampuan likuiditas dan cash flow perusahaan. Situasi semakin rumit ketika pemerintah merevisi HPP dari Rp 8.250 menjadi RP 8.500 pada Agustus.
Petani menuntut PTPN XI memberikan dana talangan sesuai dengan HPP baru. Permintaan itu ditolak direksi. ”Harga gula di pasaran jauh dari HPP. Siapa yang mau menanggung kerugian? Apalagi gula kita tidak bisa dijual karena pasar Indonesia Timur dipenuhi gula impor,” ungkap Agung.
Selama ini, PTPN XI mendapatkan keuntungan dari bagi hasil proses produksi gula. Agung menjelaskan, skama bagi hasilnya dibagi tiga. Pertama, bila randemennya sampai 6 persen, maka 66 persen milik petani dan 34 persen menjadi hak pabrik gula (PG).