Kini, hampir di setiap kabupaten/kota di Bali sudah terdapat bank sampah baik yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat maupun lembaga.
Selain melakukan daur ulang, bank sampah juga memproses sampah untuk dipakai sebagai kompos.
Namun demikian, menurut Eka, bank sampah tidak mampu mengimbangi bahkan masih kalah jauh dari produksi sampah (termasuk sampah plastik) yang terus meningkat di masyarakat.
Salah-satu penyebab aktivitas bank sampah yang cenderung statis atau jalan di tempat, menurut Eka, karena nilai ekonomis sampah plastik (terutama sampah tas kresek) rendah sekali. Yakni Rp 500 per kilogram.
“Padahal, harga beli kampil (karung untuk mengumpulkan sampah) sudah Rp 2.500 per biji. Jadinya, warga tidak antusias untuk mengumpulkan sampah plastic, kecuali mereka yang benar-benar terpanggil untuk menyelamatkan lingkungan,” jelas Eka.
Pemulung, lanjut dia, lebih memburu sampah kardus dan botol daripada sampah kresek. “Pemulung kurang tertarik sampah kresek. Hasil dari menjual sampah kresek tidak seberapa,” katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah memberi semacam rangsangan atau insentif bagi pengumpulan sampah tas kresek di masyarakat.
“Jika pemerintah tidak turun tangan dalam soal persampahan ini mulai hulu hingga hilir, maka sampah akan jadi bahaya laten bagi kelangsungan lingkungan hidup di Bali,” tandas Eka.
Produksi Sampah Kab/Kota di TPA
==========================
-Denpasar. 2.754,00 m3
-Badung. 1.029,83 m3
-Gianyar. 1.707,48 m3
-Tabanan. 826,68 m3
-Jembrana. 183,60 m3
-Klungkung. 204,00 m3
-Bangli. 1.149,31 m3
-Karangasem 122,40 m3
-Buleleng. 2.028,54 m3
---------------------------------
Di Luar TPA 1.500,75 m3
=======================
Total 11.505,75 m3