TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Sepekan sebelum 20 Mei 2015 atau bertepatan peringatan ke-107 tahun Hari Kebangkitan Nasional, Pringsewu menjadi perbincangan nasional setelah menggelar seminar nasional yang diisi para tokoh nasional dengan tema 'Pringsewu Menuju Indonesia Mini” (Xaverius Pringsewu Turut Membangun Indonesia).'
Panitia menghadirkan pembicara Laksdya TNI (Purn) Y. Didik Heru Purnomo (mantan KASUM TNI), Franciscus Welirang (pengusaha nasional), KH Maman Imanulhaq (anggota DPR-RI Fraksi PKB), DR Sugiri Syarief (mantan Kepala BKKBN) dan Mgr. Y. Harun Yuwono (Uskup Tanjung Karang, Lampung).
Seminar nasional, yang dipandu redaktur nusantara Harian Kompas, Tri Agung Kristanto, konon baru pertama kali diadakan di Pringsewu. Di saat gaung perayaan Kebangkitan Nasional tidak terdengar seperti Hari Pendidikan Nasional, tiba-tiba sebuah kabupaten terkecil di Lampung menggebrak di tengah hiruk pikuk kemelut politik tata negara dan tata pemerintahan Indonesia.
Adalah Harry H Limaran, Ketua Xaverians (Ikatan Alumni Sekolah Xaverius Pringsewu) yang memiliki ide untuk menandai kebangkitan nasional di Pringsewu. Baginya, Pringsewu merupakan representasi Indonesia mini dengan berbagai persoalan dan sekaligus menyimpan harapan. Selama ini Pringsewu luput dari perhatian pemerintah yang sangat kontras ketika Belanda dulu.
"Belanda pada awal 1900-an melihat daerah yang sekarang disebut Pringsewu sebagai daerah lumbung pangan, palawija dan perkebunan. Sehingga Belanda menyelenggarakan program bedol desa dari Jawa ke Pringsewu pada 1925. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan Belanda pada 90 tahun itu, terbukti saat ini,” ujar Harry kepada Tribun di Jakarta, Senin (18/5/2015).
Daerah yang dulu bernama Margakaya itu, menurut Limaran, merupakan kabupaten terkecil di Lampung dan satu-satunya daerah yang tidak memiliki laut. Ekonomi kabupaten ini bergantung pada perkebunan, tanaman pangan serta jasa. Jika ada tambang, belum tereksplorasi dengan baik.
Meski begitu, kabupaten berpenduduk terpadat di Lampung itu merupakan kota pendidikan yang sudah disandang sejak zaman Belanda. Saat ini Pringsewu pun menjadi kota percontohan pendidikan bersama dua kota lainnya di Lampung. Melihat posisinya sebagai kota penghubung untuk seluruh daerah di Lampung dan Sumatera wilayah selatan menuju utara, Pringsewu dipastikan memainkan peranan penting di masa depan.
"Oleh karena itu bersama warga Pringsewu yang tinggal di luar Pringsewu termasuk juga Jabodetabek, kami mencoba mendorong pemerintah menjadikan Pringsewu sebagai Indonesia Mini yang berbasis pada pendidikan, jasa, lumbung pangan serta sumberdaya manusia. Kami tidak ingin Pringsewu menjadi kota-kota baru yang terlindas oleh beton-beton megah namun masyarakatnya harus mengimpor beras dari daerah lain. Sehingga tata ruang kota dan daerah Pringsewu harus benar-benar diawasi sehingga tidak menghancurkan sawah-sawah yang ada,” ujar Limaran yang juga salah satu Ketua Paguyuban Warga Pringsewu Jabodetabek.
Untuk mengatasi dan menuju Indonesia Mini, Pringsewu perlu memiliki sekolah pertanian terintegrasi dari tatanan SMK dan juga perguruan tinggi. Dalam mimpinya, kelak Pringsewu akan menjadi kabupaten yang memiliki agrowisata, pendidikan pertanian terpadu, konsultan pertanian dan tata kota pertanian.
“Pantura di Jawa itu adalah lumbung padi dan pangan yang dibangun Jenderal Daendels bersamaan dengan pembangunan jalan Anyer–Panarukan. Namun nasib lumbung Pantura sungguh sangat menyedihkan. Terlihat sekali pemerintah daerah tidak memiliki cara pandang dalam pembangunan lumbung padi di daerah itu. Belajar dari Pantura, kami tidak menginginkan Pringsewu mengalami nasib sama dengan Pantura,” tegas Limaran.
Ia mengakui, menuju Indonesia Mini sebagai lumbung pangan, pendidikan dan kota penghubung tidak mudah dilaksanakan jika pemerintah sekarang dan yang akan datang tidak cepat-cepat merevisi kebijakan pembangunannya. Kelemahan pembangunan sebuah daerah terpencil adalah pengawasan. Berangkat dari sini, Limaran mengatakan akan menjadi partner kerja dan sekaligus pengawas bagi pemerintah Kabupaten Pringsewu agar apa yang dicita-citakan terwujud.
Bersama rekan-rekannya, baik yang di Paguyuban Masyarakat Pringsewu Jabodetabek dan juga Xaverians, Limaran merasa yakin Lampung akan lebih cepat berkembang jika daerah ini tertata baik terutama infrastruktur mengingat sejak dulu Pringsewu sebagai kota penguhubung bagi Lampung dan Sumatera. Untuk mempercepat waktu investasi, Pringsewu perlu memiliki bandar udara untuk mempercepat investasi dan hubungan dengan daerah lumbung pangan lain di seluruh Indonesia.