Ia menjelaskan bahwa agama semua sama yaitu Hindu, namun budaya yang berbeda.
Membaurkan adat Desa Kospa Dwata Karya, perlu beberapa tahun. Saat itu, Ngarsa menjabat kepala desa berasal dari Perean, lalu kepala desa adat asal Wangaya.
“Kami berdua yang menggodok masyarakat untuk menjalankan suatu upacara hasil keputusan kami,” terangnya dengan senyum yang mengembang.
Pernah dahulu, saat melaksanakan upacara pengabenan, kelompok dari pinggiran biasa dipuput oleh Ida Pedanda, sedangkan kelompok pegunungan tidak.
Saat itu diakali dengan memakai dua ketua panitia, untuk yang dipuput pedanda dan tidak dipuput pedanda.
“Memang agak susah tapi kita harus memfasilitasi keinginan warga kami. Hingga akhirnya warga kami sadar dan upacara selanjutnya kembali pada sastra,” jelas Ngarsa sambil menyandarkan badannya di kursi kayu.
Dalam pelaksanaan segala upacara adat, Desa Kospa Dwata Karya tidak berdasarkan awig-awig desa.
“Kita di sini hanya memakai perasaan dari hati ke hati. Menyatukan persepsi kira-kira mana yang cocok, mana yang tidak cocok,” lanjut Ngarsa.
Ngarsa menambahkan, dasar suatu upacara agama itu berasal dari dua yaitu sastra dresta dan loka dresta.
“Hingga akhirnya kebanyakan sekarang memakai sastra dresta. Jeg intine... Beneh di anggo Bali, beneh dini anggo dini (Benar di Bali pakai di Bali, benar di sini pakai di sini),” ungkap Ngarsa menyimpulkan.
Kini kurang lebih ada 300 KK di Desa Kospa Dwata Karya yang menyungsung Pura Kahyangan Tiga, Puseh, Desa, dan Dalem.
Luas lokasi Pura Puseh dan Pura Desa itu 60 are, sedangkan Pura Dalem dipersiapkan seluas 80 are.
Selain itu, juga ada Pura Puncak Batukaru, Puncak Sari yang disungsung oleh kelompok Wangaya dan Sangketan.
Begitu juga untuk Puncak Geni yang disungsung oleh kelompok Perean, ada juga Pura Segara Menuh oleh kelompok Luwus, dan Pura Yeh Bubuh oleh kelompok Petiga.