“Namun uniknya di sini, biarpun masing-masing pura itu dimiliki oleh masing-masing kelompok, namun seluruh warga di Desa Kospa Dwata Karya sembahyang ke sana setiap piodalan,” jelas Ngarsa.
Ngarsa mengatakan, transmigran tidak boleh hanya mengukuhkan adat budayanya saja, tetapi perlu menghargai budaya lokal di Kecamatan Masama.
“Seperti misalnya, saat upacara pawiwahan di sini. Pagi itu undangan untuk warga Hindu, lalu malamnya resepsi yang mengundang warga lokal di sini, lengkap dengan sambutan-sambutan, doa pengantin di atas panggung,” ungkap Ngarsa di rumahnya Banjar Bali II, Desa Kospa Dwata Karya.
Begitu juga setiap lima tahun sekali ada upacara potong kambing oleh masyarakat lokal, maka transmigran turut ikut dalam upacara itu.
Kalau untuk undangan adat Bali, pagi hari disediakan nasi metanding yang dinamakan sesagi.
Setiap nasi yang diberikan kepada undangan, dipersiapkan oleh pengoopin di rumah yang memiliki acara.
“Kalau nilai filosofisnya saya tidak begitu tahu, tapi mungkin ini cara orang tua dulu. Kalau pakai prasmanan, Yen megarang ada ane lek, ada ne juari, ane dorinan mekelidan nundudin tundun timpal (ada yang malu, ada yang tidak. Paling belakang bisa tidak dapat bagian),” terang Ngarsa.
Setelah semua dipersiapkan, semua makanan didoakan, setelah itu semua orang duduk dan makan bersama dengan tertib.
Seiring berjalannya waktu, ada juga transmigran yang menikah dengan orang lokal.
“Astungkara sudah lebih dari 40 tahun kehadiran kami di sini tidak ada sama sekali gesekan dengan masyarakat lokal. Semoga selamanya akan begitu,” harap Ngarsa. (*)