TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Budayawan Kalsel, Mukhlis Maman mengatakan mitos soal gerhana matahari tidak dapat dipungkiri masih ada di sebagian masayarakat Kalimantan Selatan.
Julak Larau, panggilan akarabnya mengatakan mitos-mitos terutama masih berlangsung di wilayah hulu sungai, bahkan hingga kini.
Mitos-mitos terutama berkaitan dengan hal-hal buruk dan marabahaya di luar saat gerhana matahari berlangsung.
"Jadi kalau gerhana matahari dulu harus di dalam rumah. Tidak boleh keluar. Mitosnya macam-macam bentuknya. Ada yang menyebut buta kalau melihat langsung, penyakit akan datang, tidak ada udara di alam luar saat gerhana dan masih banyak lagi," ujarnya.
Mitos seperti itu masih ada hingga kini terutama di masyarakat yang masih tingal di pehuluan dan sinkritismenya masih tinggi.
"Terutama di masyarakat yang masih hidup dengan budaya perpaduan antara kaharingan dan Islam yang kuat seperti dI daerah hulu," ujarnya.
Namun demikian, dari kajiannya selama ini munculnya mitos macam itu sebenarnya memiliki tujuan untuk mengingatkan terutama pada anak kecil akan sejumlah efek negatif melihat gerhana matahari secara langsung.
"Beberapa penelitian menunjukkan melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang memiliki efek tidak baik untuk mata. Sebenarnya mitos tadi muncul di masyarakat tradisional untuk menghindari itu. Secara logika kan begitu," ujarnya.
Beda dengan masyarakat Banjar secara umum dimana nilai religius Islami yang kental seperti di Banjarmasin dan Martapura, gerhana matahari sendiri banyak dimaknai dengan cara religius pula.
"Nah kalau masayarakat Banjar sendiri, lebih banyak mengaitkan gerhana matahari dengan religi islami."
"Dilakukan salat gerhana, berzikir dan sebagainya saat terjadi gerhana matahari. Mitos-mitos sendiri tidak begitu kuat," ujarnya. (Rahmadhani)