"Batik Lontara lebih disukai warga negara asing daripada orang-orang Indonesia sendiri. Mereka berpikir mau diapakan sih batik ini, toh ada batik yang lebih bagus," sambung dia.
Ia tak memiliki cara khusus mempromosikan batiknya itu. Cara yang dipakai sekaranya getok tular alias dari mulut ke mulut, toh cukup efektif meski implikasinya belum terlihat benar.
Belakangan usahanya sedikit terbantu berkat Camat Ujung Pandang, Muhamamd Syarief. Ia diminta Syarief membikin batik Lontara untuk kemudian akan dia beli sendiri.
Wanita berdarah Bone ini kadung cinta kesenian sejak dulu. Ia sering membuat percobaan-percobaan sendiri untuk menghasilkan kerajinan tangan. Aisha enggan berdiam diri dan selalu membuat motif lain.
"Saya harap pemerintah mau bantu pengusaha kerajinan lokal untuk melestarikan kebudayaan, supaya budaya kita eksis di dunia internasional. Apalagi banyak yang tertarik," selama ini Aisha mengaku memakai modal pribadi.
Ia mengeluh karena tak ada generasi muda yang tertarik pada kesenian membatik Lontara, bahkan keponakannya masih belum terlalu tertarik. Kebanyakan alasan anak muda zaman sekarang, membatik membosankan.
"Sangat disayangkan para generasi muda cuma pikir kuliah, tidak ada jiwa mempertahankan budaya lokal," kata dia yang terus berharap batik Lontara dapat menggugah generasi muda mengangkat budaya lokal.
Terlepas sepi peminat, Aisha terus menggoreskan canting dan kuasnya untuk membuat batik bermotif Lontara. Produknya mulai dikemas khusus untuk lebih menarik para pembeli.
Batik Balla Sari Motif Lontara, begitu Aisha menamakan batiknya. Satu lembar batik ia jual Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta. Ia berharap dapat mengembangkan bisnisnya dan membuka pasar lebih luas.
"PPrinsip saya, pertahankan pendapat sendiri meski orang tak menyukai apapun karyamu yang sudah kau buat dengan keyakinan sendiri," kata Aisha.