Ia mengabaikannya.
Bang Jack lebih memilih perasaan bahagia yang datang melihat para siswa antusias belajar di sekolahnya.
"Sering saya dicibir, orang miskin kok bikin sekolahan. Orang putus sekolah kok bikin sekolah. Abdi mah lempeng saja (saya sih tetap saja) karena memang ini tekad saya. Dorongan keluarga dan orangtua siswa juga yang membuat saya bisa bertahan," paparnya.
Bang Jack sering merasa sedih melihat murid TK dan TPA berdesak-desakan sambil bercucuran keringan.
Ruangan yang menjadi kelas itu memang sempit, bahkan panas.
Ia bahkan beberapa kali secara berat hati menolak calon siswa yang ingin mengenyam pendidikan di sekolahnya.
"Saya pernah menolak 10 siswa karena sudah tidak menampung lagi. Kasihan kan kalau anak-anak sampai belajar di luar rumah. Ukuran kelas di rumah cuma 5 x 4 meter. Kalau di mertua 7 x 3 meter. Sudah enggak kondusif buat nambah siswa lagi," kata dia.
Jack berharap selanjutnya dapat memiliki tempat yang besar dan berkapasitas banyak.
Bisa menampung murid-murid yang ingin belajar di sekolahnya.
Dia masih bertahan menggunakan fasilitas seadanya di rumah karena terkendala biaya. (tribunjabar/ragilwisnusaputra)