TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Dua dari tujuh tersangka kasus bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda, Kalimantan Timur, 13 November lalu, adalah anak di bawah umur.
Keduanya adalah RPP (15) dan GAP (16).
Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Fajar Setiawan mengatakan, meski masih di bawah umur, kedua tersangka diduga telah melakukan tindak pidana khusus.
Oleh karena itu, meski ditangani berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, namun proses yang mereka jalani juga harus ditangani dengan penanganan khusus.
“Karena masih anak-anak, nanti pasti akan dikaitkan dengan UU anak. Tapi kasus teroris masuk dalam tindak pidana khusus, sehingga harus ada penanganan khusus pada kedua tersangka,” ujarnya, Minggu (20/11/2016).
Fajar menjelaskan, dua tersangka teroris yang masih di bawah umur menjadi pelajaran bagi masyarakat bahwa peran orangtua dan tokoh agama diperlukan untuk menghindarkan doktrin-doktrin radikal yang berbahaya.
“Peran orangtua harus lebih diperketat lagi, orangtua harus tahu pergaulan anak-anaknya, sebab pada masa remaja, anak-anak rentan dengan doktrin-doktrin berbahaya,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Fajar, peran tokoh agama juga sangat dibutuhkan di lingkungan masyarakat.
“Jika menemukan pengajian-pengajian yang sekiranya mencurigakan, harap segera dikroscek dengan dialogis atau bisa melaporkannya pada polisi,” pungkasnya.
Kini, ketujuh tersangka teror bom gereja Samarinda diperiksa secara intensif Densus 88 di Jakarta sejak Sabtu (19/11/2016).
7 Tersangka
Polisi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ledakan bom molotov di depan Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur.
Ketujuh orang ini dianggap terlibat mulai dari perencanaan, pelatihan, perakitan bom, hingga peledakan bom.
Para tersangka dipindahkan ke dalam bus dari Ruang Tahanan Mako Brimob Polda Kaltim, Sabtu (19/11/2016).
Kepala Polda Kaltim Irjen Pol Safaruddin mengatakan, dari hasil penyidikan pelaku pertama, enam orang yang awalnya sebagai saksi ditetapkan menjadi tersangka.
Para tersangka ini merupakan pengembangan penyidikan selama tujuh hari pasca-ledakan.
Ketujuh tersangka tersebut adalah J, S, JS, F, AD, GAP, dan RPP. J atau Johanda merupakan pelaku yang meledakkan bom di depan gereja. Adapun pelaku lainnya pernah diperiksa di Polresta Samarinda sebagai saksi.
"Ketujuh orang ini terlibat mulai dari perencanaan, kemudian pembuatan bom, membeli bahan-bahan, melaksanakan, mengeksekusi, dan seterusnya. Sebelumnya dilakukan pelatihan-pelatihan bagaimana untuk merakit itu," kata Safaruddin.
Semua pelaku akan dibawa ke Jakarta dan ditangani Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Pengembangan penyidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap jaringan pelaku teror.
"Nanti Densus 88 di Jakarta akan mengembangkan lagi karena masih ada yang harus kita lakukan langkah-langkah pengembangan terhadap masalah ini," kata dia.
Aksi teror di Gereja Oikumene itu terjadi pada Minggu (13/11/2016) sekitar pukul 10.00 Wita. Bom meledak beberapa saat setelah jemaat melaksanakan ibadah Minggu.
Ada lima orang yang menjadi korban, semuanya anak balita. Seorang korban bernama Intan Olivia Marbun meninggal dunia saat menjalani perawatan. Adapun tiga korban lain masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Penulis : Kontributor Samarinda, Gusti Nara