Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Dewi Sartika merupakan pahlawan nasional yang lahir pada 4 Desember 1884. Ia merupakan pahlawan wanita asal Kota Bandung yang berjuang melalui pendidikan.
Anggota Komisi X DPR RI Popong Otje Djundjunan mengatakan, banyak hal yang bisa ditiru dari perjuangan Dewi Sartika.
Menurut wanita yang akrab disapa Ceu Popong ini, Dewi Sartika merupakan sosok yang ulet, pekerja keras dan pantang menyerah.
"Dulu, wanita itu sulit sekolah, tapi beliau datang ke rumah rumah untuk meminta anak wanita sekolah. Meskipun pada umumnya saat itu banyak yang menolak," kata Ceu Popong usai memperingati harlah di SMP Dewi Sartika, Jalan Kautamaan Istri, Kelurahan Baloggede, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Minggu (4/12/2016).
Ceu Popong menyebut, Dewi Sartika juga merupakan pahlawan nasional yang rela berkoban.
Dewi Sartika menjual harta bendanya untuk membangun sekolah waktu itu. Ia menilai, Dewi Sartika tak pandang bulu dalam berjuang.
"Kalau (wanita) sekarang, bingung mau mengikuti seperti beliau. Mau mengeluarkan uang Rp 10 ribu saja sudah gemetaran," kata Ceu Popong.
Ceu Popong menyebut, generasi muda sekarang tak harus menjadi seperti Dewi Sartika. Lagi pula situasi saat ini tak sesulit ketika Dewi Sartika hidup.
Namun generasi muda saat ini harus bisa meniru sikap Dewi Sartika dan mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
"Isi sesuai kapasitas kita dan kemampuan kita. Jadilah wanita yang baik kalau ingin mengikuti dan menghargai perjuangan Dewi Sartika. Kalau jadi wali kota, jadilah yang baik, kalau jadi pejabat, jadilah yang baik," kata Ceu Popong.
Berdasarkan riwayat yang diterima Tribun Jabar (Tribunnews.com Network), Dewi Sartika merupakan anak kedua dari pasangan Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas.
Pada waktu Dewi Sartika lahir, ayahnya menjabat sebagai Patih Afdeling Mangunreja yang sekarang Kabupaten Tasikmalaya.
Pada 1891 ayahnya dimutasi ke Bandung dan menjadi patih yang membantu pemerintah Bupati Bandung, RA Kusumadilaga.
Dewi Sartika yang waktu itu berusia tujuh tahjun disekolahkan d Eerste School, sekolah khusus anak keturunan Belanda, Indo-Belanda, dan kalangan ningrat.