Mulai dari rumah, mobil, bahkan dibuatkan usaha seperti butik dan pencucian mobil dan motor.
Namun semua materi yang dimiliknya atas nama DO, suami sirinya.
Meski begitu, SA tak pernah mempersoalkannya. Sampai akhirnya April 2017, anak pertamanya berinisial BC usia 2,5 tahun hendak masuk sekolah.
Ia mendaftarkan anaknya di salah satu PAUD di Kota Tarakan.
Ternyata salah satu syarat daftar anak sekolah harus memiliki akte kelahiran.
“Anaknya ditolak masuk sekolah, karena tidak ada akte kelahiran. Hal ini membuat SA menangis, padahal waktu itu SA sedang hamil, sehingga ini membuatnya stres," tutur Fanny.
Akhirnya SA berbicara dengan DO agar BC dibuatkan akte kelahiran.
Saat itu, suaminya berkata gampang dan bisa diatur.
Namun, ditunggu-tunggu akte kelahiran juga belum ada.
Hal ini membuat SA semakin stres.
"Jadi menurut SA, DO ini hanya menjanjikan saja,” ungkap psikolog, Fanny, Sabtu (5/8/2017).
Lantaran stres itulah, SA langsung berpikir bagaimana nanti nasib anak keduanya.
Khawatir nasibnya akan sama dengan anak pertama, akhirnya SA memutuskan untuk melahirkan seorang diri tanpa dibantu siapapun, termasuk ibunya.
“Dari hasil tes psikotesnya, SA ini memiliki kepribadian introvert atau tertutup. Jadi setiap masalah yang dihadapinya tidak pernah mau diceritakan kepada orang dan dipendam sendiri oleh SA," kata Fanny lagi.
SA semakin tertekan sampai akhirnya melakukan perbuatan keji secara sadar. (Syaiful Syafar)