TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Di sela kesibukan mengurus keluarga, sebagian ibu rumah tangga memiliki profesi sampingan.
Pekerjaan ini bisa untuk menambah pemasukan keluarga.
Dalam menjalankan pekerjaan sampingan ini, para ibu rumah tangga bisa bekerja sama dengan tetangga di lingkungan sekitarnya.
Baca: Kisah Hari-hari 7 Bersaudara yang 14 Tahun Tak Keluar Rumah karena Dikunci Ayah Mereka
Hal ini berpotensi menjadikan sebagian ibu-ibu memiliki pekerjaan sampingan yang sama.
Namun apa jadinya bila kesamaan pekerjaan sampingan itu cukup dominan?
Itulah yang terjadi di dukuh Nogosari di Bantul.
Siapa sangka, keberadaan pabrik yang bergerak di bidang fashionera 1990an menjadikan 90 persen ibu rumah tangga di Dusun Nogosari, Wukirsari, Imogiri, Bantul berprofesi sebagai pembuat kerajinan rajut.
Pabrik itu kini telah tutup, namun profesi dan keahlian merajut ini tetap ada.
Bahkan jumlahnya terus meningkat.
Dari yang awalnya puluhan, kini sampai 200 an ibu-ibu Dusun Nogosari 1 dan Nogosari 2 berprofesi sebagai perajut.
"Jadi hampir di setiap rumah di Nogosari 1 dan Nogosari 2 ini ada alat rajut," kata Sunandar selaku Pengurus Paguyuban Rajut Wukirsari, kamis (5/10/2017).
Tak ada yang tahu pasti kapan usaha rajut rumahan di Nogosari ini mulai berkembang.
Baca: Dua Tersangka Tarung Gladiator Menginap di Rutan Paledang
Tapi menurut Sunandar, pasca pabrik tutup sekitar 2008 lalu profesi rajut ini makin berkembang.
Secara alami, ibu-ibu yang biasa menyetor peci dan tas rajut kepada pabrik bergerak secara mandiri.
Hasil ini berbanding lurus dengan makin banyaknya permintaan pasar akan produk rajut.
Sepatu misalnya, yang kini makin banyak peminat.
Jadilah 90 persen ibu-ibu di Dusun Nogosari berprofesi sebagai perajut.
Hari-hari mereka di rumah, diisi dengan merajut selain mengurus rumah tangga.
Hanya saja, menurut Sunandar, hasil yang dari produksi kerajinan rajut ini masih dibilang pas-pasan.
Dalam satu hari misalnya, seorang ibu rumah tangga hanya bisa mendapatkan pemasukan Rp 20 ribu dari merajut hasil penjualan sepasang sepatu rajut.
Itu karena produksi dilakukan rumahan.
Sedangkan untuk melebarkan sayap sampai ke unit usaha yang lebih besar, sebagian besar ibu-ibu masih belum mahir dalam proses pemasaran dan tentunya modal.
"Jadi sementara ini kita produksi rumahan lalu setor ke pengepul, harganya ya ditentukan pengepul," kata Sunandar.
Meski demikian, ibu-ibu Nogosari merasa usaha rajut ini sudah lebih dari cukup untuk membantu suami dalam mencukupi ekonomi keluarga.
Pasalnya dari sisi waktu, merajut adalan pekerjaan yang fleksibel.
Artinya bisa dikerjakan sembari mengurus rumah tangga di rumah.
Upaya dari pihak paguyuban untuk mandiri dalam proses pemasaran produk rajut Nogosari diharapkan jadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemasukan ibu-ibu perajut.
Sehingga targetnya nanti, mereka tak lagi tergantung kepada pihak pengepul ketika memasarkan produk.
Lurah Desa Wukirsari, Bayu Bintoro mengamini jika merajut adalah profesi 90 persen warga Dusun Nogosari yang masuk dalam wilayah Desa Wukirsari.
Setidaknya lima tahun belakangan, usaha rajut warga Nogosari berkembang cukup pesat seiring makin banyaknya pelaku usaha.
Pemerintah desa bekerjasama dengan BPN baru-baru ini membantu masyarakat Wukirsari termasuk dari Dusun Nogosari mengurus sertifikat tanah.
"Sertifikat itu bisa dijadikan jaminan pinjaman ke bank jika pelaku usaha rajut ini ingin mengembangkan usaha," kata Bayu. (TRIBUNJOGJA.COM)