Laporan Wartawan Surya Sulvi Sofiana
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Kasus penganiayaan yang dilakukan siswa pada gurunya hingga meninggal dunia dipandang psikolog anak sebagai bentuk akar budaya kekerasan.
Psikolog anak Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Soffie Balgies MPsi berpendapat tindakan tersebut merupakan wujud budaya kekerasan yang mengakar pada budaya tertentu yang telah menjadi nilai, prinsip hidup dan kebiasaan sehari-hari.
"Hal ini akan nampak pada tindakan, cara berpikir, berelasi dan mengambil keputusan. Misalkan ada nilai yang menekankan lebih baik putih gading daripada merah mata. Maka si penganut prinsip nilai ini akan mengorientasi tindakannya pada perlawanan bukan mengalah atau terkalahkan,"urainya.
Dalam berelasi juga demikian, akan menekankan keunggulan harga diri dibandingkan toleransi pengertian dan memaafkan.
Ketiga nilai ini mendasari interaksi dengan sesama manusia.
Baca: Pelaku Ternyata Sempat Bezuk dan Minta Maaf, Ini Kronologi Pemukulan Guru Sampang Versi Polisi
"Dalam kasus murid yang di Sampang. Nampaknya dia tersinggung berat karena perlakuan guru yang mencoret cat di mukanya. Rasa kesal dan marah yang menyertai ketersinggungan merupakan manifestasi harga dirinya yang jatuh atau terendahkan,"lanjutnya.
Selain itu, pola asuh dan tingkah laku orangtua juga mendasari prinsip nilai dan tingkah laku anak.
Dalam hal ini orangtua sebagai role model atau teladan bagi anak.
Orangtua adalah pihak pertama yang meletakkan fondasi pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Selain itu ketika ucapan tindakan prinsip orangtua menekankan kebajikan yang berlaku secara universal maka otomatis akan ditularkan pada anak baik secara langsung atau tidak langsung.
"Kalau tindakan yang dicontoh baik, bisa berimbas pada kebaikan hati, mencintai, kecerdasan sosial, pengendalian diri, dan lainnya. Sebaliknya jika keburukan maka bisa dibayangkan bagaimana dampaknya,"tegasnya.
Dalam kasus ini bisa jadi orangtua terutama ayah dari pelaku sering mencontohkan perilaku berupa tindak keburukan berupa kekerasan, semisal pemukulan.
Baca: Ini Fakta-fakta Mengejutkan Siswa SMA yang Bunuh Gurunya di Sampang
"Kalau kepribadian anak, biasanya ada dorongan dan tekanan dalam diri yang bisa membentuk perilaku tertentu. Dalam hal ini nampaknya si anak ingin eksis atau mendapat perhatian namun tertekan karena tindakan guru,"paparnya.
Selain itu, kepribadian juga terbentuk karena peranan super ego yang berangkat dari nilai aturan dan norma yang diyakini sejak kecil.
Norma nilai aturan ini berangkat dari keluarga terdekat dan masyarakat sekitar. Nampaknya super ego yang dimiliki si anak tidak cukup kuat untuk menjadi pertimbangan dalam tindakannya.
Sehingga ketika melawan atau membalas gurunya, ia melupakan nilai kesopanan, kebajikan, penghormatan pada orang yg lebih tua.
"Sikap agresi yang dimiliki sudah menjadi caranya menyelesaikan masalah atau merupakan mekanisme pertahanan diri,"pungkasnya.