Laporan Wartawan Tribun Jateng, Hesty Imaniar
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG – Nasib menyedihkan menimpa 120 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni di 5 kecamatan dari 5 desa di Kabupaten Kendal, akibat proyek tol Semarang-Batang.
Akibat masalah itu, untuk memperkuat dukungan hukum, warga akan meminta bantuan ke Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Semarang dengan pimpinan Theodorus Yosep Parera.
Diungkapkan oleh Kuasa Hukum warga, Eko Roesanto, bahwa pihaknya tidak sanggup melayani begitu banyaknya warga yang terkena dampak dari proyek jalan tol tersebut.
“Kami ingin meminta dukungan hukum ke LPPH Peradi Semarang, jika saya sendiri cukup kelelahan energinya, total klien yang kami dampingi ada 120 KK, yang bertahan dan tersebar 5 kecamatan dan 8 desa, diantaranya Sumbersari, Kertomulyo, Nolokerto, Magelung, Ngawensari, Wungurejo, Tejorejo, Rejosari,” katanya, saat ditemui di PN Semarang, Rabu (27/6/2018).
Sejumlah masalah terkait perkara itu, dikatakannya, didalam aprasial penetapan lokasi tanah tidak sesuai dengan ukuran asli.
Menurutnya, banyak data yang salah dalam inventarisasi BPN, misalnya, obyek lahan nomor induk, selain itu, banyak yang ukuran tak sesuai.
“Masalah lain, tanah juga belum diganti rugi, baru usaha seperti penjahit, mebel, toko, ternak dan lainnya tidak masuk dalam obyek ganti rugi di penggusuran proyek itu,” bebernya.
Padahal, katanya, nilai ganti rugi yang sudah dititipkan, jika dibelikan lahan baru tidaklah cukup.
Apalagi, para warga juga harus kembali menjadi petani, karena dari awal memang sudah petani. Dengan demikian, dampaknya warga kehilangan pekerjaan sebagai petani.
“Yang kami sesalkan, ketika dilakukannya eksekusi lahan pertanian semuanya masih produktif, tinggal menunggu panen, anehnya tidak ada penggantian."
"Masalah lain, penggantian fasilitas umum (fasum) seperti sekolah dasar di Sumbersari belum ada penggantinya juga,”jelasnya.
Ia juga menilai janggal, karena ganti rugi terkait fasum sudah dibayar ke kas desa sejak satu tahun lalu, namun hingga sekarang, belum juga ada pengganti sekolah.
Akibatnya para siswa dititipkan di rumah penduduk dan sejumlah madrasah, untuk tetap bisa bersekolah.