TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA -Soeharto duduk di sofa di depan rumahnya di Jl Putat Jaya C Barat gang 10 nomor 69 , Senin (23/7/2018) . Di tampak lahap menyantap nasi dan sayur pemberian Wati (51), tetangganya.
Kondisinya kini berbeda jauh dengan saat dia masih menjadi atlet berprestasi hingga menyumbangkan medali emas untuk Indonesia di ajang Sea Games 1976.
Pria 68 tahun yang buta sejak umur 19 tahun itu baru saja tiba dari menjenguk istrinya, Astuti (75) yang dirawat di RSUD Dr Soetomo karena luka infeksi di bagian pantat serta karena tumor jinak yang ada di otak.
Usai makan, Soeharto bercerita, Astuti dijemput Linmas dan Satpol PP Pemerintah Kota Surabaya untuk mendapat perawatan khusus dari dokter.
Karena sebelumnya luka infeksi Astuti hanya dirawat seadanya olehnya, padahal kondisinya sudah parah, berdarah dan mengeluarkan bau tidak sedap.
"Ibuk (Astuti) operasi 2014-an akhir, tumor otak jinak. Setelah itu memang kondisinya semakin melemah. Dia hanya terbaring di atas kasur, dulu masih bisa bergerak sedikit, saya yang bantu papah ke kamar mandiri dengan jalan mundur."
"Ya kalau keserimpet ya jatuh berdua, saya ditimpa istri saya, gimana lagi saya kan tak bisa melihat juga, kami juga tidak punya anak," kata Soeharto menceritakan kondisi istrinya kepada Surya, Senin (23/7/2018)
Karena sudah tak kuat berdiri, akhirnya Astuti hanya bisa terbaring lemas di atas kasur.
Karena jarang bangun, luka baru di bagian punggung muncul. Belum lagi diperparah dengan kebersihan yang kurang terjaga.
"Gimana lagi, saya nggak bisa lihat lukanya. Jadi kalau kencing, berak, mandi saya seka sebisanya saja. Nggak tahu ternyata makin parah sampai keluar belatungnya begitu dan bau tidak sedap," curhat Soeharto.
Soeharto mengatakan, meski kondisinya sangat memprihatinkan dia tetap sabar.
Dia sering berpesan kepada istrinya, meski dia tidak melihat namun cintanya terhadap Astuti tidaklah akan pernah hilang.
"Kadang dia sering mengeluh sakit, saya jawab 'ya memang sakit, nanti diobati' kemudian saya cium. Obat yang bisa saya berikan ya ciuman tanda sayang itu."
"Saya ingin menyayangi istri saya seperti Nabi Muhammad menyayangi istrinya, sabar karena dia juga sabar nggak pernah membantah," kisah Soeharto mengenang.
Soeharto dengan keterbatasannya tak bisa apa-apa melihat kondisi istrinya secara cermat. Satu-satunya orang yang peduli adalah Wati, tetangganya yang punya warung kopi di seberang rumah.
Wati memang seperti anak kedua yang memberikan makan, dan sering mengupayakan agar RT, RW, lurah, dan masyarakat memberikan perhatian kepada kondisi Soeharto.
"Saya bilang bapak untuk menjaga kesehatan supaya tetap bisa merawat ibu. Karena saya sendiri tidak tega melihat luka ibu, saya juga megupayakan ke RT, RW, dan Kelurahan supaya bapak dapat makan gratis."
"Sekaligus dapat relawan yang pas untuk mengurus ibu," kata Wati, sambil mengemasi piring kotor bekas makan Soeharto untuk dibawa pulang.
Belakangan, Soeharto dibantu seorang relawan dari sebuah LSM bernama Siti, yang membantu membersihkan luka Astuti setiap dua hari sekali.
Tukang Pijat
Setelah pensiun dari tugasnya menjadi atlet, Soeharto mengaku menjadi tukang pijat. Namun seiring berjalannya waktu memang sepi tidak ada yang menggunakan jasanya.
Selain itu Soeharto juga menjadi pekerja sosial di YPAB Tegalsari, Surabaya.
Satu-satunya sumber kehidupan yang dia punya adalah pembayaran uang dari rumahnya di Probolinggo yang dikontrakkan.
"Rumah itu pemberian pemerintah jaman Presiden Susilo Bambang Yudoyono karena prestasi olahraga saya."
"Tapi memang sekarang kosong tidak ada yang kontrak, kabarnya ada yang tertarik kontrak tapi belum tahu lagi," katanya,.
Saat ini pasangan Soeharto dan Astuti tinggal di rumah warisan Astuti dari orangtuanya.
Rumah yang sudah tua dan lembab itu menjadi saksi kemesraan mereka berdua bertahan hidup, dalam segala kekurangan. (*)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Kisah Cinta Mengharukan Soeharto, Mantan Atlet yang Kini Buta Namun Setia Merawat Istri