“Kulit harimau didapat dari seorang pemburu di Concong, Indragiri Hilir. Kami hanya membantu untuk menjualkan. Katanya harimau tersebut sering mengganggu warga di kebun, sehingga dibunuh,” ujar Ah.
Terkait aktivitas penjualan tubuh Harimau, Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau Suharyono, tak menampiknya karena beberapa kali hal ini pernah jadi temuannya.
Mulai dari perdagangan satwa dilindungi secara utuh, maupun hanya bagian-bagian organ tertentu, seperti kulit harimau, tringgiling, dan gading gajah.
Suharyono juga tak menampik jika sindikat atau mafia satwa ini turut melibatkan warga sekitar untuk menjerat atau menangkap binatang langka di hutan.
"Orang tidak akan berburu kalau tidak mendapatkan keuntungaan yang berlebih. Di sini banyak masyarakat diperalat, tapi itulah faktanya," imbuhnya.
Disinggung harga bagian tubuh hewan langka yang dijual di pasar gelap, Suharyono mengaku tak begitu paham.
"Saya tidak tahu pasti harganya. Misalnya kulit harimau, namun saya pikir kolektor berani membayar mahal," tandasnya.
Suharyono mengatakan, keberadaan Harimau Sumatera di Riau cukup unik.
Sebab ada dua jenis Harimau Sumatera, yakni harimau rawa atau gambut (dataran rendah) dan harimau dataran tinggi (daerah perbatasan Riau-Sumbar).
"Kita rencananya akan membangun stasiun harimau rawa yang kemungkinan di Bukit Batu, Bengkalis," ujarnya kepada Tribunpekanbaru.com, Sabtu (29/9/2018).
Ditambahkannya, Harimau Sumatera ini penyebarannya hampir merata di wilayah Provinsi Riau. Namun populasinya sangat kecil, tercatat hanya tinggal 40-an ekor saja.
Di antara faktor penyebab terancamnya populasi Harimau Sumatera di Riau adalah kembali maraknya aktifitas perambahan kawasan oleh para pelaku illegal logging.
Selain itu juga meningkatnya aktifitas perburuan atau pelaku penjerat babi.
Menurut Humas World Wide Fund for Nature (WWF) Program Riau, Syamsidar, sesuai namanya, Harimau Sumatera merupakan satwa endemik Pulau Sumatera.