Laporan Wartawan Tribun Jateng, Amanda Rizqyana
TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Lima anak laki-laki dan empat anak perempuan anak dengan HIV/AIDS di Kabupaten Semarang mendapatkan hak sama seperti anak lainnya.
Empat anak yang memasuki usia sekolah tersebut telah diketahui keberadaannya oleh pihak sekolah dan pihak sekolah terbuka dan menerima.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Taufik Kurniawan selaku Komisi Pemberantasan HIV/AIDS Kabupaten Semarang pada Minggu (24/2/2019) sore.
"Dari total orang dengan HIV/AIDS (Odha) anak komulatif sebanyak 25 anak, enam belas orang meninggal dunia."
"Sembilan orang yang masih hidup terdiri atas empat perempuan dan lima laki-laki, dan empat di antaranya sudah sekolah. Lingkungan sekolah sudah tahu tapi alhamdulillah sekarang sudah welcome," ujar Taufik.
Taufik menyatakan, enam belas Odha anak yang meninggal berada di usia di bawah dua tahun.
Sementara yang masih hidup, empat orang berada di usia sekolah, lima orang berada di bawah usia tiga tahun.
Menurut Taufik, ada informasi yang salah pada masyarakat yang menganggap bahwa anak-anak Odha merupakan anak dari pekerja seks komersial (PSK).
Padahal konsep tersebut sangat salah.
Ia bahkan menyatakan, 100% anak Odha justru berasal dari pasangan yang sudah menikah dan ibu yang memiliki pasangan seksual tunggal.
Ia belum memiliki data lengkap terkait riwayat hubungan seksual dari orang tua Odha anak untuk dirunut persebarannya karena hal tersebut memerlukan penyeleksian data yang lebih ketat lagi.
Taufik menambahkan, saat ini di Kabupaten Semarang memang belum menerapkan wajib pengecekan HIV/AIDS bagi ibu hamil maupun pasangan yang hendak menikah.
Pasalnya memang aturan yang berlaku menyebutkan bahwa tes HIV/AIDS harus dilakukan secara sukarela.
"Kami masih belum memiliki payung hukum yang kuat untuk melakukan pencegahan yang bersifat keharusan.
Sejauh ini masih berupa tawaran dan ajakan pada sukarelawan yang ingin melakukan tes HIV.
"Saat ini kami belum memiliki payung hukum yang kuat dan khawatir akan menyalami hak asasi manusia (HAM) bila tes HIV bersifat memaksa," ujarnya.
Taufik menambahkan, bagi para anak Odha juga mendapatkan pendampingan dan mengonsumsi ARV (Antiretroviral), obat untuk memperlambat virus HIV.
Sayangnya, sebagian pasien, baik orang tua maupun anak-anak mengalami efek samping ARV.
Keluhan yang biasanya timbul seperti gatal-gatal, mual, pusing, bahkan hingga berhalusinasi. Selain efek biologis obat, tiap pasien juga memiliki ketahanan tubuh yang berbeda sehingga efek samping yang ditimbulkan bisa tinggi atau rendah, atau bahakn ada yang mengalami proses adaptasi yang cepat.
Tak hanya itu, durasi konsumsi obat seumur hidup yang sering membuat pasien bosan.
Adanya stigma bahwa PSK yang menjadi perantara persebaran HIV/AIDS, hal tersebut patut diluruskan.
Sejauh ini para PSK di Kabupaten Semarang telah mendapatkan edukasi terkait HIV/AIDS.
Kemudian, bagi PSK yang kemungkinan mengidap HIV/AIDS, ia akan pergi melarikan diri sejauh mungkin.
"Biasanya PSK begitu kedapatan positif akan berusaha semaksimal mungkin melarikan diri," pungkas Taufik.