TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Nama Pierre Tendean tak asing bagi masyarakat Indonesia terutama bagi masyarakat Sulawesi Utara.
Pahlawan revolusi ini menjadi korban keganasan peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada 1965.
Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean adalah anak dari Dokter AL Tendean asal Manado dan Maria Elizabeth Cornet, keturunan Indo-Perancis.
Dari sepuluh korban yang dibunuh dalam G30S PKI, nama Lettu Pierre Andreas Tendean harusnya tak masuk dalam daftar penculikan dan pembunuhan.
Piere Tendean merupakan Ajudan Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pada 1 Oktober dini hari, ia diculik karena dikira Nasution, lalu dibunuh di Lubang Buaya.
21 Februari 2019 ini harusnya Pierre Tendean berusia ke-80 tahun, jika dia masih hidup.
Pierre meninggal masih muda saat berusia 26 tahun. Padahal berencana akan menikah pada November 1965 tak lama setelah peristiwa G30S PKI.
Pemuda tampan keturunan Manado ini, rencananya akan mempersunting gadis cantik asal Medan, Rukmini Chaimin.
Gadis itu dikenalnya saat menjadi komandan pleton batalyon zeni tempur Bukit Barisan.
Pierre selalu menjadi pusat perhatian para gadis karena wajahnya yang tampan.
Jika ada lomba olahraga antar kampus, Pierre sering masuk tim basket.
Ini membuat dia dikenal oleh banyak mahasiswi yang menonton.
Bahkan ada ungkapan dari mahasiswi yang mendapat ceramah dari AH Nasution: "Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannya (Pierre)".