Mengenai perubahan sikap masyarakat terkait proses komunikasi dan dialog yang sedang berlangsung, kata Ompu Morris dipicu oleh ulah pekerja PT TPL sendiri. Perbuatan pekerja PT TPL dianggap mengancam keselamatan kesehatan dan membahayakan jiwa warga.
Pekerja TPL Racuni Sungai Kami
Ketua Lamtoras Judin Ambarita (Ompu Sampe Ambarita) menuturkan, rentetan ancaman dan pengrusakan pihak PT TPL di Sihaporas. Pertama, prusakan dan perambahan hutan yang melanggar Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 Ayat 3 butir c, mengenai sempadan sungai. Undang-undang ini mengatakan setiap orang dilarang menebang hutan di kawasan anak sungai, sungai dan mata air atau umbul.
"Tentu pihak TPL masih ingat pada tanggal 25 dan 26 Oktober 2018, warga menemukan ratusan ekor ikan khas Batak yaitu ihan, ikan pora-pora, kemudian kepiting, bahkan katak mati mengapung di sungai serta kolam warga. Apakah manajen TPL mudah lupa terhadap perbuatan karyawannya yang mengamcam keselamatan jiwa masyarakat kawasan sekitar lokasinya?" sebutnya.
Saat itu, tujuh bulan lalu, warga memergoki di camp/barak pekerja TPL di kawasan hulu sungai (Aek Meranti) terdapat racun/pestisida diduga meracun ikan di sungai. Botol pestisida juga nerceceran di dekat umbul. "Apakah pekerja TPL ingin membunuh kami pakai racun?" timpal Ompu Morris.
Belum selesai proses mediasi, pekera TPL mengulangi aksinya. Pertengajan Februari 2019, pekerka kembali mendirikan kemah di hulu sungai yang mencemari aumber air minum masyarakat Sihaporas.
"Kami mendesak manajemen TPL jangan memutarbalikkan fakta, menyebut masyarakat adat mengubah sikap. Justru teguh sikap dan pendirian tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan kawasan Danau Toba secara umum agar jauh dari penebangan tak bertanggung jawab, perambahan yang hanya mau untung dari kayu tapi tak peduli alam,"tambah Judin.
"Kami mempertahankan tanah nenek moyang kami untuk anak-cucu sekaligus kelestarian lingkungan. Sedangkan mereka (TPL) tentu pemiliknya bukan orang Batak, tidak peduli kelestarian alam Tanah Batak",sebut Thompson Ambarita, warga Sihaporas yang menjabar Bendahara Umum Lamtoras.
Karenanya, kata Thompson mereka akan teguh pada prinsipnya mempertahankan nyawa dan kesehatan sampai tetes darah terakahir. Setidaknya lima orang warga Sihaporas merupakan pejuang kemerdekaan RI yang mendapat piagam penghargaan Legiun Veteran RI dari Pemerintah RI.
"Ompung dan orangtua kami adalah pejuang. Kami pun akan memperjuangkan tanah adat warisan leluhur sampai tetes darah terakhir. Kami takkan mundur",tegas Thompson.
Baca: Minta Dipisah KLHK, Walhi Sarankan Pemerintah Bentuk KPK Lingkungan
Walhi: Aparat Jangan Berpihak pada TPL
Sementara itu, Dana Prima Tarigan, Direktur Wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara meminta TNI/Polri bersikap netral.
Konflik agraria yang berkepanjangan menurutnya, harus mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintahan pusat dan Khususnya Pemerintah Sumatera Utara, baik Permasalahan dasar Izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT Toba TPL.
IUPHHK PT TPL dinilainya telah mencederai hak Masyarakat adat dan masyarakat local yang mempunyai Kehidupan atas Wilayah Kelola Rakyat atas Tanaman Pisang, Durian, Alpokat dan Haminjon. Apalagi, tanaman tersebut merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat Desa Sihaporas yang berladang disekitar lokasi PT TPL.
Dia menyampaikan, pihak aparat keamanan unsur TNI dan POLRI selaku pengayom masyarakat seharusnya tidak bersikap reaktif dan menunjukkan keterpihakan terhadap Perusahan.
Izin IUPHHK–HTI yang dimiliki oleh PT TPL telah merampas Hak Kelola bagi Masyarakat Adat di Desa Sihaporas, di samping itu dalam pemberian izin telah mencederai UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat 2 yang berbunyi “ Bumi, Air dan Kekayaan ALam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat”.
"Bagaimana masyarakat yang seharusnya mempunyai sumber kehidupan dari kegiatan berladang tidak diberikan hak atas pemanfaatan lokasi, namun pemerintah memberikan Hak Kelola terhadap perusahaan, dimana kemakmuran rakyat yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 jika Hak Kelola masyarakat ternyata dirampas oleh Konstitusi atas Terbitnya Izin IUPHHK- HTI," tuturnya.
Dana menyampaikan, perusahaan itu seharusnya tidak Mengambil Hak Hidup Masyarakat Adat Sihaporas, dan Meminta kepada Pemerintah Agar Mencabut Izin tersebut karena Menilai Izin tersebut sangat tidak berpihak terhadap Masyarakat Adat Sihaporas.
Di sisi lali, PT TPL kata Dana, memiliki sejarah atas Kasus Agraria di sumatera Utara terhadap Perampasan Hak atas wilayah tanah Masyarakat adat, yang masuk dalam Areal Izin konsesi yang diberikan Pemerintah Kepada PT TPL.
Apalagi, ditambahkan Dana, masyarakat adat di wilayah adatnya masih menganut Kearifan Lokal untuk dapat menjaga Kelestarian hutan dan lingkungan. Walhi menyesalkan tindakan perusahaan yang melibatkan ASN untuk dapat membuat tekanan psikologis kepada masyarakat adat. Padahal di lokasi konsesi tersebut sudah tinggal masyarakat Adat secara turuntemurun jauh sebelum PT TPL diberi konsesi oleh pemerintah.
"Walhi akan Hadir dan jika Masyarakat adat Sihaporas harus kehilangan sumber kehidipuannya maka sebagai Rakyat saya mengatakan akan Mengangkatkan tangan Kkri saya untuk melawan Penindasan Terhadap Masyarakat Adat", “tuturnya.
Hingga berita ini diturunkan, Tribun masih berupaya mengkonfirmasi Kapolsek Sidamanik Akp Abidin terkait keterlibatan TNI/Polri dalam penanaman eucalyptus oleh pihak PT TPL di lahan warga tersebut. (Jun-tribun-medan.com)