Keterangan dari Humas Polda Jateng menyebut TT dijerat dengan pasal pasal 7 dan pasal 11 Peraturan Kapolri tentang kode etik profesi Polri.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap anggota Polri harus "menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri." dan "menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum."
TT mempertanyakan klaim bahwa ia telah merusak citra Polri.
Padahal, selama ini ia merahasiakan orientasi seksualnya, bahkan dari keluarganya sendiri.
"Kok tiba-tiba mereka mengomong-omongkan saya menurunkan citra Polri, padahal selama ini enggak ada yang tahu kondisi saya seperti ini."
Selama ini, TT menutupi kenyataan bahwa ia seorang gay karena merasa dirinya bagian dari kelompok minoritas yang belum diakui di Indonesia.
"Saya enggak mau membuat gaduh," ujarnya.
TT mengaku merasa kecewa karena dipecat setelah menjadi anggota polisi selama 10 tahun.
"Selama ini saya mengabdi di Polri selama sepuluh tahun, menjaga nama baik Polri juga, tapi kok akhirnya mereka mengeluarkan saya dengan alasan seperti ini."
Ia menduga kepolisian mengetahui kondisinya setelah ia ditangkap termasuk telepon selulernya yang diperiksa.
Tidak dibenarkan untuk diskriminasi
Setelah mendapat surat keputusan pemecatan, TT menggugat Polda Jateng ke PTUN Semarang, dengan didampingi Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Pengacara dari LBHM yang mendampingi TT, Ma'ruf Bajammal, mengatakan pihaknya mengajukan gugatan pada tanggal 26 Maret.
Mereka juga membuat pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 10 April tentang dugaan pelanggaran HAM kepada orang dengan minoritas seksual.