TRIBUNNEWS.COM - Viral video yang menayangkan seorang ibu menyeret anak kandungnya berusia sekitar tiga tahun di tanah.
Dikutip dari Serambinews.com, ibu berinisial NU (30) itu berasal dari Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.
Kini, ia telah diamankan oleh kepolisian.
Hal itu diungkapkan Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Trisno Riyanto SH, melalui Kapolsek Ulee Lheue, AKP Ismail, kepada Serambinews.com, Minggu (1/12/2019).
Menurut Kapolresta, NU tega menyeret anak perempuannya karena merusak tanaman cabai milik tetangganya.
"Pemicunya sebetulnya sepele, hanya karena anaknya itu merusak tanaman cabai milik tetangganya, ibu itu langsung hilang kendali," tutur Ismail, seperti yang diberitakan Serambinews.com.
Pasca video tersebut viral, Ismail menyampaikan, pihaknya langsung mengamankan NU ke Mapolsek Ulee Lheue.
Sejauh ini NU masih dimintai keterangan.
NU pun belum ditahan lantaran memiliki anak yang masih berumur kurang lebih satu tahu.
"Ibu NU belum ditahan, karena mempertimbangkan ada anaknya yang masih berumur kurang lebih setahun dan masih menyusui," jelasnya.
Ismail menambahkan, NU baru saja tinggal di Kecamatan Meuraxa sekitar tiga bulan.
Sementara itu, sang suami bekerja di luar kota.
"Suaminya saat ini tidak berada di Banda Aceh, karena berdinas di luar Provinsi Aceh," ungkap Ismail.
Tanggapan Psikolog
Melihat kasus tersebut, seorang Psikolog Anak dan Keluarga Adib Setiawan, S. Psi., M. Psi menduga NU mengalami depresi atau baby blues.
Menurut Adib, kondisi itu dialami NU lantaran dirinya masih memiliki bayi berusia sekitar satu tahun dan masih menyusui.
"Saya melihat, dia (NU) itu kan masih menyusui juga, kemungkinan besar ibu ini mengalami depresi atau kesedihan yang mendalam, atau biasa dikenal dengan baby blues," ungkap Psikolog Anak dan Keluarga dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia itu, saat dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (3/12/2019).
Lebih lanjut, berdasarkan pengalaman prakteknya, Adib melihat tindakan NU tersebut terjadi karena tekanan-tekanan yang terpendam.
"Ibu ini kan tekanannya sudah banyak, artinya ini tekanan-tekanan yang sudah mengumpul," jelasnya.
"Tekanan dari dia punya anak pertama, anak kedua, sehingga si ibu ini sudah benar-benar tidak tahu caranya mengasuh anak ini seperti apa," sambung psikolog praktekpsikolog.com itu.
Adib menambahkan, kondisi tersebut dapat dialami seorang ibu yang kurang mendapat dukungan sosial.
"Ini terjadi karena memang dukungan sosial kepada si ibu ini kurang," kata Adib.
Baby blues, Adib mengatakan, juga sangat dimungkinkan terjadi ketika seorang istri kurang medapat dukungan dari suami.
"Barangkali suaminya kurang mendukung si ibu, sehingga emosinya keluar dan dia tega menyeret anaknya sendiri seperti itu," terangnya.
Mengetahui suami NU berdinas di luar kota, Adib mengatakan hal itu sangat berpengaruh pada kondisi psikologis NU.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat NU merasa sendirian dalam mengurus anak-anaknya yang masih balita.
"Sudah punya anak balita 3 tahun, ditambah lagi punya anak di bawah umur 1 tahun dan masih menyusui, dia merasa sendiri dalam mengasuh anak," kata Adib.
"Ibu-ibu yang merasa sendiri mengasuh anak tentunya kan ya emosi seperti itu bisa saja tidak terkendali," sambungnya.
Melarang Kekerasan Pada Anak
Kendati demikian, Adib tetap tidak membenarkan terjadinya kekerasan pada anak.
Adib menyayangkan, kondisi psikologis orangtua yang tidak tertangani dengan baik sehingga anak menjadi korban.
"Ya memang dilema, mau disalahin barangkali ibu ini juga korban dari lingkungan, entah korban dari masa lalu dia sehingga dia mengalami depresi atau baby blues, karena dia kurang diperhatikan oleh suami, kurang diperhatikan oleh orang tuanya, misalnya," tutur Adib.
"Tidak dibenarkan melakukan kekerasan kepada anak. Sebisa mungkin jangan melakukan kekerasan terhadap anak," tandasnya.
Adib menuturkan, kekerasan pada anak dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak.
"Dampaknya ketika anak mengalami trauma ini kan anak bisa saja jadi benci orang tua, anak jadi pendiam, anak bisa tertekan, bahkan mengalami trauma yang mendalam," jelas Adib.
Tak hanya itu, Adib menyampaikan, seorang anak korban kekerasan juga dapat melakukan hal yang sama pada anaknya kelak.
"Akhirnya kalau anak itu tumbuh dewasa, menikah, dan memiliki anak, akhirnya dia melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan orang tuanya," kata Adib.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Serambinews.com/Misran Asri)