Nadya membeberkan konsep 'ngode' itu tidak benar, karena yang seharusnya diubah adalah pikiran 'patriarki' dalam benak laki-laki.
Oleh karenanya bukan kewajiban perempuan yang harus memberi 'kode' untuk mengatakan apa keinginannya.
"Masalahnya pikiran patriarki yang masih bersemanyam dalam pikiran laki-laki."
"Itu penyebab ia tidak bisa melihat bahwa perempuan butuh apresiasi, karena perempuan juga manusia," tegas penulis buku 'Membicarakan Feminisme' yang terbit pada 2019 lalu.
Baca: Curhat Istri Tak Dibelikan Makan Suami Bukan Perkara Komunikasi, Feminis: Perempuan Perlu Dihargai
Baca: Viralnya Curhat Istri Tak Dibelikan Makan Suami Jadi Bukti Budaya Patriarki Masih Ada di Indonesia
Sosok suami dalam curhatan istri tersebut masih menganut patriarki di dalam otaknya.
Karena ia tidak memanusiakan istrinya sendiri yang memang membutuhkan makanan atau sekedar ditanya apakah lapar.
"Dia pikir perempuan itu kompleks, perempuan rumit, banyak kode-kodean, itu salah pikiran mereka yang melihat perempuan sebagai objek."
"Kalau mereka sudah bisa melihat perempuan sebagai manusia, perempuan tidak perlu kode," imbuhnya.
Curhatan istri tersebut, lanjut Nadya, bukan hanya perkara komunikasi yang seharusnya dilakukan istri.
Tetapi lebih kepada peran istri yang tidak dianggap 'nyata' dalam kedudukan bahtera rumah tangga pernikahannya.
"Masalahnya bukan perempuan yang tidak kode."
"Tetapi memang laki-lakinya tidak peka karena menganggap perempuan hanya sebagai pemenuh kebutuhan-kebutuhan primer," ungkap Nadya.
Padahal seharusnya laki-laki memahami kalau seorang istri memasak bukan hanya untuk keluarganya saja, tetapi untuk dirinya dia sendiri.
"Perempuan juga masak untuk dirinya sendiri, bukan untuk suaminya saja,"