Abah Ugi menjelaskan sejak dulu, warga Ciptagelar punya waktu tersendiri untuk menanam padi, tak bisa sembarangan.
Waktu tersebut, kata Abah Ugi, berpatokan pada munculnya rasi bintang Kidang atau Orion dan rasi bintang Kerti atau Pleiades.
Baca juga: Cegah Banjir dan Longsor, KLHK Akan Rehabilitasi DAS di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Tentunya, hal tersebut didukung oleh lokasi Kampung Adat di kawasan Pegunungan Halimun Salak yang minim polusi cahaya.
Dengan demikian, warga bisa melihat rasi bintang tersebut dengan mata telanjang.
Ketika Kidang tepat di atas kepala saat tengah malam, kata Abah Ugi, saat itulah warga mulai bisa menananam padi.
"Kalau misalkan Kerti, Kidang sudah tidak kelihatan di situ biasanya hama mulai bermunculan. Makanya sebelum Kidang tidak kelihatan harusnya udah bisa panen. Biasanya dimulai oleh Abah dulu, terus warga ngikutin. Kalau panen mana aja yang panen, kalau nanam harus Abah dulu," kata Abah Ugi.
168 Varietas Padi
Abah Ugi menjelaskan, varietas padi yang dimiliki oleh warga Kasepuhan Ciptagelar berbeda dengan yang ada di pasaran pada umumnya.
Masing-masing varietas padi tersebut secara turun temurun diwariskan oleh leluhur.
Bibit padi tersebut, kata Abah Ugi, menjadi kunci dari pelestarian padi yang dilakukan oleh warga Kasepuhan Ciptagelar.
Bibit-bibit dari varietas padi yang diwariskan tersebut, kata dia, juga ditanam dan dirawat secara alami tanpa bahan kimia.
Oleh karena itu, kata Abah Ugi, dari ratusan varietas padi tersebut bahkan ada yang bisa bertahan selama 20 sampai 50 tahun jika disimpan di Leuit.
"Kurang lebih sekarang itu ada sekitar 168 varietas padi yang disebar di warga Abah semua," kata dia.
Oleh karena proses tersebut, kata Abah Ugi, masa panen padi milik warga Ciptagelar bahkan ada yang harus menunggu 7 bulan untuk panen sementara bibit padi di kota hanya butuh waktu 2 sampai 3 bulan.
Menurutnya, hal tersebut menunjukan bibit padi milik warga Kasepuhan Ciptagelar bisa tahan lebih lama dari bibit padi pada umumnya.