"Ibaratnya gini, kalau itu keluarga saya. Apa yang akan saya lakukan? Meski tidak saya luapkan. Saya benar-benar menangis dalam hati saya," sambung Dedi.
Pasalnya, kondisi jenazah yang datang juga bermacam-macam. Menurutnya, dua diantara 15 jenazah sulit diidentifikasi identitasnya.
"Ada dua jenazah yang sulit diidentifikasi. Karena memang mukanya tidak jelas," katanya.
Dedi menuturkan, sebagian besar jenazah mengalami luka di kepala dan kaki fraktur.
"Tapi paling banyak luka di kepala. Mungkin karena tertimpa longsoran atau timbunan puing-puing."
Sementara itu, kata Dedi, kesibukan mengurus banyaknya korban akibat gempa membuatnya lupa keluarga.
"Mungkin karena kesibukan, banyaknya pasien luka ringan, luka berat, bukan hanya meninggal. Saya jadi lebih memikirkan orang lain daripada keluarga sendiri," ungkap Dedi.
Bahkan, pascagempa terjadi, Dedi mengatakan, baru ingat bahwa sang anak masih di sekolah, Senin siang itu.
"Baru ingat karena banyak korban masuk (RSUD Cimacan). Baru saya telepon gurunya. Katanya sudah dievakuasi," jelas pria yang mengenakan pakaian perawat itu.
"Baru kemarin saya evakuasi istri dan anak saya ke rumah mertua," jelasnya.
Menanggapi hal itu, menurut Dedi, untuk menjalani profesinya harus diniatkan ikhlas.
"Harus diniatkan ikhlas dan benar-benar mempertanggungjawabkan dunia dan akhirat ya," katanya.
Meski begitu, Dedi kemudian mengatakan, menjalankan tugasnya dengan senang hati untuk memberikan pelayanan yang baik.
"Ketika pelaksanaan kita enjoy. Kita laksanakan dengan tim dengan baik. InshaAllah memberi pelayanan dengan baik," tutur Dedi.
Artikel ini telah tayang di TribunnewsBogor.com dengan judul Kisah Korban Gempa Cianjur Tidur Bareng 11 Mayat di Tenda Pengungsian, Terpal Bekas Jadi Pelindung