"Meskipun secara administrasi beliau tidak terdaftar di PHDI," lanjutnya.
"Informasi dari Ketua PHDI Buleleng (Gede Metera), sulinggih tersebut telah diberi sanksi oleh nabe," tambahnya.
"Melalui proses ngelukar gelung, dan kini telah menjadi umat biasa," sambungnya.
I Nyoman Kenak menyebutkan, saat proses diksa, yang bersangkutan tidak melalui proses dari PHDI.
Jika melalui mekanisme PHDI, penggodokan calon sulinggih dilakukan secara bertahap.
Ia mengatakan, ada beberapa syarat prinsip yang wajib dipenuhi oleh calon sulinggih.
Seperti usia minimal 40 tahun, sehat fisik dan mental, serta memahami ajaran-ajaran agama Hindu.
Baca juga: Orasi Di Universitas Hindu Negeri Bali, Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Perkuat Toleransi Beragama
"Kami sangat hati-hati menyikapi ini, karena sulinggih merupakan simbol umat Hindu," ujarnya.
"Tentu ini harus dipahami oleh sulinggih, sehingga ikut menjaga umat, agar kegaduhan seperti ini bisa dihindari," tuturnya.
Lebih dalam lagi, setiap sulinggih memiliki nabe atau orang tua spiritual.
Nabe menjadi sosok yang lebih berwenang menyikapi tindak tanduk dari sulinggih yang telah dilahirkan.
Kata Kenak, saat melakukan kesalahan, maka hanya nabe yang berwenang dalam memberi sanksi.
"Kalau sudah sulinggih, semua kewenangan ada di ranah nabe," ujarnya.
"PHDI sebagai majelis Umat Hindu hanya mendampingi proses, dan tentu tetap memberi masukan," ungkapnya.