Laporan Wartawan TRIBUN-PAPUA.COM, Yulianus Bwariat
TRIBUNNEWS.COM, MERAUKE - Sebanyak sebelas nelayan asal Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan akhirnya menghirup udara bebas dari jeruji besi negara Papua Nugini (PNG).
Kesebelas nelayan yang telah ditahan selama 9 itu tiba di Bandara Mopah Merauke, Sabtu (3/6/2023) pagi.
Mereka sebelumnya ditangkap otoritas Papua Nugini karena ketahuan menangkap ikan secara ilegal di perairan Papua Nugini.
Sebelas nelayan lokal itu adalah Laode Darsan, Riki Hemi Setiawan, Farid Sasole, Peli Puswarkor, Joni, dan Ceno Jelafui (ABK KM Arsyila 77).
Baca juga: Warga Ramai-ramai Datangi Mapolsek Tamalatea, Pastikan Pelaku Pengrusakan Perahu Nelayan Ditahan
Selanjutnya Joni, Amin Nurul Mustofa, Nuriadi, Beni Wasel dan Fernando Tuwok (ABK KM Baraka Paris 21).
Sedangkan dua nakhoda yakni Sarif Casiman dan Rohman masih menjalani hukuman penjara di Papua Nugini.
Pemulangan atau repatriasi 11 nelayan ini dilakukan pada 31 Mei 2023 melalui rute Port Moresby - Vanimo.
Selanjutnya, pada 1 Juni 2023, diseberangkan melalui PLBN Skouw - Wutung, dan pada 2 Juni melanjutkan perjalanan dari Jayapura ke Merauke.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Merauke, Rekianus Samkakai mengatakan, 11 nelayan Merauke dijatuhi hukuman penjara delapan bulan oleh otoritas Papua Nugini karena tindakan illegal fishing di perairan negara tersebut.
Sedangkan dua nahkoda kapal dipenjara selama satu tahun.
"Saya atas nama Pemkab Merauke, mengucapkan terima kasih kepada penjabat Gubernur Papua Selatan dan jajarannya atas dukungan dana yang diberikan kepada kami, sebagai tim teknis Badan Pengelola Perbatasan melakukan koordinasi dan pengurusan pemulangan 11 nelayan ini," kata Rekianus saat acara penerimaan 11 nelayan di kantor sementara Gubernur Papua Selatan.
Baca juga: KNP Berikan Edukasi Pelestarian Ekosistem Laut untuk Nelayan di Indramayu
Diperlakukan dengan Baik
Salah seorang Anak Buah Kapal (ABK) KM Baraka Paris, Amin Nurul Mustofa menceritakan bagaimana dirinya bersama teman-temannya diperlakukan di tahanan milik negara PNG selama 9 bulan.