TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Suasana Ramadan di Indonesia selalu diwarnai dengan toleransi umat lintas agama. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru muncul, melainkan sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum ramainya segregasi sosial akibat politisasi agama.
Menjelang akhir bulan Ramadan 1445 Hijriah, keberkahan lailatul qadar semakin terasa memberikan makna mendalam bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang toleran.
Membahas keutamaan bulan Ramadan yang sarat dengan nuansa perdamaian, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Suhadi Cholil, S.Ag, MA., menjelaskan bahwa terdapat banyak kejadian yang menggambarkan kuatnya rasa toleransi ketika bulan Ramadan.
“Salah satu contohnya adalah adanya kelompok masyarakat di kota Solo dan beberapa kota lainnya yang saling rukun antara umat Kristiani dan muslimnya. Ketika yang beragama Islam menjalankan puasa Ramadan, umat Kristiani disana ikut menyiapkan kolak sebagai menu berbuka puasa, dan diantarkan ke banyak rumah umat Islam,” ujar Suhadi di Yogyakarta, pada Kamis (4/4/2024).
Sebagai seorang akademisi yang juga sering meneliti interaksi umat lintas agama, Dr. Suhadi juga menemukan adanya umat kristiani yang ikut membangunkan tetangganya yang muslim ketika datang waktu sahur. Fenomena ini banyak dia temukan terjadi di kota Solo.
Ia bercerita, kalau misalnya hidup bertetangga dengan jarak rumah yang cukup dekat, bahkan berdampingan, sudah tidak asing lagi jika dijumpai umat Kristiani yang ikut membangunkan sahur.
Bahkan terkadang jika ada rumah yang dianggap belum bangun untuk sahur, maka tetangganya yang Kristiani ini akan ikut mendatangi dan memanggil penghuni rumah sampai mereka bangun dari tidurnya.
“Seharusnya ini bisa juga dicontoh oleh teman-teman muslim dalam bentuk partisipasi aktif ketika umat Kristiani sedang menyiapkan hari besar keagamaannya seperti Paskah atau Natal. Jika ini bisa diterapkan dengan baik, tentu kita semua bisa yakin bahwa Indonesia adalah negara yang kondusif bagi semua umat beragama,” tuturnya.
Ramadan juga seringkali dirayakan dengan cita rasa budaya yang berbeda, sesuai dengan wilayah umat Islam bertempat. Menurut Dr. Suhadi Cholil, perbedaan budaya dalam merayakan Ramadan adalah hal yang wajar dan menjadi daya tarik tersendiri ketika mengunjungi negara-negara lain.
Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan, baik instansi pemerintah maupun swasta, mengurangi jam kerja ketika bulan Ramadan dengan maksud menghormati mereka yang berpuasa. Selain itu, pengurangan jam kerja juga memungkinkan orang untuk lebih dekat dengan keluarga dan teman-temannya dengan bisa pulang lebih awal, bahkan sampai mengadakan buka puasa bersama.
“Karena Indonesia merupakan negara multikultural dan banyak agama, buka puasa di bulan Ramadan tidak hanya dilakukan oleh mereka yang beragama Islam, namun juga umat lainnya. Rasa toleransi yang tinggi bisa kita lihat di lingkungan publik, orang-orang yang tidak berpuasa biasanya mencari tempat tersendiri jika ingin menyantap makanan. Jam kerja pun biasanya dikurangi ketika bulan Ramadan,” jelas Dr. Suhadi.
Dirinya juga menceritakan tentang kebiasaan buka puasa di negara Australia. Disana, orang-orang yang tidak berpuasa malah sengaja diundang untuk mendatangi acara buka puasa bersama di berbagai tempat umum dan pusat kota.
Suguhan buka puasa di Australia tidak hanya berisi makanan lokal, namun juga jenis kuliner yang hanya bisa ditemukan di negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Menurutnya, bulan Ramadan yang penuh ampunan ini juga tak bisa dipisahkan dengan keberkahan malam lailatul qadar. Malam yang dikisahkan lebih baik dari seribu bulan ini datang diantara sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.
Dr. Suhadi Cholil mengajak umat Islam untuk memahami esensi dari bulan Ramadan dan malam lailatul qadar. Beliau beranggapan bahwa Alquran yang diturunkan di bulan Ramadan ini sebenarnya membawa rahmat yang menyeluruh kepada semua manusia, tidak hanya umat Islam saja.
“Aspek kemanusiaan dalam Alquran yang pada akhirnya mengangkat derajat manusia, khususnya perempuan, adalah tentang peraturan pembagian harta waris. Banyak yang mengkritisi peraturan waris dalam Alquran, tentang laki-laki yang diatur untuk mendapatkan dua bagian dari harta warisan, sementara perempuan hanya satu bagian,” paparnya.
“Padahal, sebelum datangnya Alquran, jangankan menerima harta warisan, kaum perempuan justru menjadi objek warisan itu sendiri. Misalnya seorang ayah telah meninggal, sementara dia punya istri yang masih muda, istrinya itu biasanya diwariskan kepada anak laki-laki si ayah tersebut,” Dr. Suhadi lagi.
Mengakhiri penjelasannya, Dr. Suhadi Cholil menggarisbawahi besarnya peranan bulan Ramadan yang di dalamnya juga diturunkan Alquran, terhadap kemajuan peradaban manusia. Menurutnya, Alquran tidak hanya membahas tentang ibadah semata, namun juga berkontribusi pada emansipasi perempuan dan peningkatan kualitas hidup umat manusia.