"Walapun dia (Aipda WH) masih anggota polisi tapi kan itu bukan tupoksi dia, karena itu kewenangan penyidik," kata kuasa hukum Supriyani.
Menurut Andri, lantaran surat pengantar visum dibawa sendiri orang tua korban, dia menduga surat visum itu sudah dikompromikan dengan pihak dokter.
"Siapa yang bisa menjamin kalau surat visum itu hasil kompromi orang tua korban dengan dokter. Makanya kami meminta dihadirkan dokter yang buat surat visum, tapi nyatanya tidak dihadirkan di persidangan kemarin," katanya.
Andri turut meragukan kompetensi dokter yang membuat surat visum korban.
"Kami juga menilai dokter ini tidak kompeten menilai luka karena dokter umum bukan dokter forensik."
"Karena untuk menyimpulkan luka ini ditimbulkan karena apa harusnya dokter forensik," ujarnya.
Karena itu, kuasa hukum Supriyani menghadirkan dokter forensik yang akan menyimpulkan luka korban.
"Karena kami menduga luka ini disebabkan penyebab lain," katanya.
Penjelasan Kubu Aipda WH
Dalam wawancara khusus dengan TribunnewsSultra.com, kuasa hukum keluarga Aipda WH, La Ode Muhram Naadu mengatakan bila foto luka korban yang tersebar diambil dua hari setelah peristiwa terjadi.
"Jadi pada hari Rabu (24 April 2024) itu masih merah kehitam-hitaman, karena memang lokasi lukanya ini adalah lokasi duduk, dan ketika memakai celana panjang akan lembab dan digaruk," kata La Ode Muhram, Sabtu (2/11/2024).
Sedangkan luka tersebut baru divisum pada Jumat (26/4/2024), sehingga lukanya sudah berubah.
Kemudian itu dikuatkan hasil visum yang menyatakan luka tersebut disebabkan benda tumpul.
Lalu, ada juga hasil laporan dari pekerja sosial yang dari perspektif mereka ini memang terjadi penganiayaan.
"Artinya bukti-bukti ini saling mendukung, dan terakhir dari Unit PPA juga atau perspektif psikolog bahwa anak ini memang mengalami penganiayaan," katanya.