Meskipun dewan ini sudah beroperasi di pesantren masing-masing, pengukuhan resmi diharapkan dapat memperkuat posisi mereka dalam pengawasan dan pengembangan mutu pesantren. Hal ini sejalan dengan upaya Majelis Masyayikh untuk mengajak semua stakeholder, baik dari pemerintah maupun swasta, untuk bersama-sama mengatasi masalah yang dihadapi oleh pesantren.
"Kami ingin semua elemen berkolaborasi demi kepentingan pesantren," ungkap Gus Rozin.
Dalam acara ini, Gua Rozin menekankan pentingnya menjaga kemandirian pesantren.
Menurutnya, anggaran menjadi salah satu ukuran keberhasilan dari sistem pendidikan pesantren yang baru.
Dalam hal ini, Majelis Masyayikh berperan sebagai penghubung antara pesantren dan negara, memastikan aspirasi pesantren didengar dan diperhatikan.
"Kami, Majelis Masyayikh, harus memastikan bahwa hak-hak pesantren tetap terlindungi," tambahnya.
Gus Rozin juga menekankan kalau setiap tahun, Majelis Masyayikh mencatat pesantren di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan, terutama setelah adanya UU No. 18 Tahun 2019 yang memberikan perhatian khusus terhadap pesantren. Dengan meningkatnya jumlah pesantren, tantangan dalam pengembangan dan penyediaan layanan berkualitas juga semakin kompleks.
"Dengan jumlah pesantren yang terus bertambah, kita dituntut untuk memberikan layanan yang lebih baik, Majelis Masyayikh mengupayakannya melalui SYAMIL agar pesantren dapat terus berkembang dan imbang dengan perkembangan teknologi yang ada.” tegasnya.
Menteri Agama Prof Dr Nasaruddin Umar, MA, turut menyampaikan visi kementerian untuk mengembalikan esensi pendidikan pesantren.
Ia menekankan pentingnya mempertahankan tradisi dan nilai-nilai pesantren, serta menolak ukuran-ukuran yang tidak sesuai dengan karakteristik pesantren.
"Ukurlah pesantren sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai yang mereka miliki, jangan terjebak pada ukuran formal," serunya.
Dia menekankan bahwa pesantren bukan hanya tempat untuk belajar dari manusia, tetapi juga dari alam dan pengalaman yang lebih luas.
Ia berharap pendidik di pesantren mendorong santri untuk berpikir kreatif dan kritis, serta tidak terjebak dalam ukuran-ukuran pendidikan formal yang tidak mencerminkan keunikan mekanisme belajar di pesantren.
"Pesantren harus menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga mengajarkan lettis secara utuh," ungkapnya.