Berdasarkan pemeriksaan lebih dari 100 video dan foto, wawancara dengan 11 saksi dan analisis oleh pakar pengendalian massa dan pembela hak-hak sipil — mengungkapkan bagaimana penggunaan gas air mata oleh polisi dalam merespons beberapa ratus penggemar yang memasuki lapangan berakibat fatal.
Korban selamat mengatakan sebagian besar kematian terjadi setelah beberapa pintu terkunci, kata saksi mata, yang semakin memicu kepanikan.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan peninjauan kembali seluruh stadion yang ada di Indonesia.
Hingga Kamis, para pejabat mengatakan 131 orang telah meninggal, termasuk 40 anak-anak.
Lembaga perlindungan hak asasi manusia, termasuk Amnesty International Indonesia, mengatakan jumlah korban di Kabupaten Malang di Indonesia bisa mencapai 200 orang.
Pemerintah Indonesia telah menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut, yang merupakan salah satu tragedi terbesar yang merenggut nyawa terbanyak dalam sejarah sepak bola.
Pejabat kepolisian provinsi mengatakan penggunaan gas air mata dibenarkan karena “ada anarki,” tetapi para ahli pengendalian massa yang meninjau rekonstruksi video yang disediakan tidak sepakat.
Kapolres Malang dan sembilan petugas lainnya diberhentikan pada hari Rabu karena peran mereka dalam bencana tersebut. 18 petugas lainnya juga sedang diselidiki.
FIFA melarang gas pengendali massa digunakan di dalam stadion dan mengamanatkan bahwa gerbang keluar dan pintu keluar darurat tetap tidak terhalang setiap saat.
Dari beberapa video yang viral menunjukkan bahwa polisi, tak lama setelah pertandingan berakhir, menembakkan setidaknya 40 amunisi ke penggemar baik di lapangan ataupun ke tribun.
Sebagian besar gas melayang menuju bagian tempat duduk, atau "tribun", 11, 12 dan 13.
Video menunjukkan Polisi yang berdiri di depan seksi 13 menembakkan gas air mata ke lapangan dan naik ke tribun, mendorong ribuan penonton untuk mengungsi dari tempat duduk mereka.
Penumpukan orang terjadi di pintu keluar, yang hanya cukup lebar untuk dilewati satu atau dua orang sekaligus, kata saksi mata.
Clifford Stott, seorang profesor di Universitas Keele di Inggris yang mempelajari kepolisian penggemar olahraga, meninjau video yang disediakan dan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah akibat langsung dari tindakan polisi yang dikombinasikan dengan manajemen stadion yang buruk.