News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Film 'The Act of Killing' dan Segala Kontroversinya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Film Jagal/The Act of Killing

Penulis sepakat dengan Dr. Kevin Foog bahwa peristiwa 1965 lebih merupakan dinamika politik internal Indonesia dan penggunaan istilah genocide patut untuk disesalkan mengingat batasan legal istilah ini sesuai hukum internasional tidak terpenuhi serta film ini tidak lebih dari penggambaran tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu-individu sesuai versi pelaku yang sangat subyektif.

Disamping itu, Pemerintah Indonesia perlu menanyakan kepada JO sebagai sutradara film The Act of Killing, karena secara etis perlu dipertanyakan mengapa JO memanfaatkan pengakuan “pelaku kekerasan” bagi kepentingan pribadi atau komersial, termasuk klaim atas kebenaran dan preaching mengenai praktik HAM di Indonesia.

Penulis menduga bahwa JO hanya “memblow-up” saja peristiwa 1965 tanpa didasari fakta yang jelas misalnya terkait dengan “pelaku kekerasan” karena semua orang dapat mengaku sebagai pelaku, apalagi saksi-saksi dari kasus tersebut sudah sangat berkurang karena berbagai sebab terutama banyak yang sudah meninggal dunia karena sudah tua.

Penulis juga sangat yakin, JO sebagai sutradara tidak akan dapat menjelaskan secara gamblang sumber dari ancaman terhadap dirinya selama pembuatan film tersebut, karena JO sebagai sutradara tentunya harus membuat “bluff” agar filmnya laku.

Akibat membuat film ini, tidak menutup kemungkinan JO akan mendapatkan protes dan ketidakpuasan dari masyarakat Indonesia terutama aktivis kepemudaan, keagamaan dan kebudayaan di Indonesia yang memandang film ini masih “timpang” dan “sarat propaganda politis”, sehingga bisa jadi JO akan menghadapi upaya hukum dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan film ini.

Dari rangkaian cerita “dibalik” pembuatan film ini, nampak jelas bahwa sebenarnya peristiwa 1965 masih menimbulkan dendam di beberapa kalangan tertentu dan dendam itu tidak mudah berlalu, walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Seharusnya, kita sebagai anak bangsa tidak pantas menyimpan rasa dendam itu, karena dapat dimanfaatkan “orang diluar Indonesia” untuk mengacak-acak kita semua.

*) Alumnus Universitas Udayana, Bali, dan pemerhati masalah media massa dan film. Tinggal di Jakarta Timur.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini