Dari mulai kasus KPU, kasus Pelabuhan Tanjung Api-api, kasus kardus duren, kasus Hambalang, kasus Bansos Sumatera Utara, hingga kasus proyek di Kementerian PUPR, semuanya diawali dengan penyadapan dan penjebakan.
Maka patut dipertanyakan kualitas kinerja KPK yang dikatakan sebagai lembaga superbody pemberantasan korupsi ternyata hanya mengandalkan penyadapan dan penjebakan.
Giliran diberi tumpukan hasil audit BPK, KPK tidak mampu menuntaskannya. Mestinya pemberantasan korupsi yang elegan tidak dimulai dari penyadapan dan penjebakan, tetapi dari data-data hasil audit korupsi.
KPK dapat mencontoh cara kerja detektif dalam film animasi "Conan" yang dalam membongkar kasus kejahatan selalu dilakukan melalui cara-cara yang cerdas dan mengagumkan, tidak sekalipun melalui penyadapan dan penjebakan.
Bila perlu, KPK bisa melakukan studi banding ke pemilik film "Conan" agar mendapatkan kemampuan membongkar kasus dengan brilian.
Bila KPK masih terus-terusan menggunakan cara lama dalam memberantas korupsi, lebih baik KPK berganti nama saja menjadi Komisi Penyadapan dan Penjebakan (KPP).
Nama baru tersebut lebih pantas disandangkan pada lembaga anti rasuah yang hanya mampu menyadap dan menjebak.
Saat ini jangan berharap KPK akan menindaklanjuti kasus RS Sumber Waras, skandal Bank Century maupun megaskandal BLBI. Meskipun BPK sudah menyatakan terdapat indikasi korupsi dalam ketiga kasus tersebut, namun KPK ternyata gagap menggarap hasil audit BPK.
Bisa jadi ini dikarenakan kemampuan KPK belum sampai pada level itu. Seperti diketahui bersama, kemampuan KPK baru pada level penyadapan dan penjebakan.
Jadi publik harus mafhum, jangan memaksa KPK berbuat di luar kemampuannya.