PENGIRIM: LBH Jakarta
TRIBUNNERS - Terdapat beberapa nama kandidat Kapolri pengganti kapolri badrodin haiti yang ramai dibincangkan publik.
Namun, beberapa hari yang lalu, kandidat kapolri mengkerucut kepada satu nama. Tito Karnavian menjadi calon Kapolri pilihan Presiden yang diusulkan presiden ke DPR. Langkah menuju TB-1 hanya tinggal menunggu persetujuan Legislatif.
Sebagai calon pimpinan salah satu lembaga penegak hukum dengan kewenangan dan kekuasaan yang begitu besar, Tito Karnavian dituntut untuk tidak hanya memiliki kapabilitas, namun juga integritas.
Berkaitan dengan proses pencalonan Kapolri, LBH Jakarta meriset rekam jejak para kandidat trunojoyo 1. Terdapat berbagai catatan penting terkait rekam jejak para calon, salah satunya calon tunggal kapolri yang telah dipilih presiden, Joko Widodo.
Berikut ini beberapa catatan LBH Jakarta terkait rekam jejak Tito Karnavian, baik yang berupa pernyataan, ataupun tindakan-tindakannya selama berkarir di Kepolisian :
Polisi dan kekerasan
Tito Karnavian, pernah mengatakan bahwa sebagai penegak hukum, kepolisian kerap kali mengalami dilema dalam menjalankan tugas sebagai pelindung HAM karena pada saat yang sama, polisi terkadang harus menggunakan kekerasan dalam menegakkan aturan.
Tito mengatakan polisi memiliki kewenangan melanggar hak asasi manusia selama bertugas. "Saya tidak setuju bahwa polisi tidak menggunakan kekerasan,"[1].
Pernyataan Tito terkait dengan kebolehan polisi menggunakan kekerasan dapat dipandang sebagai suatu pernyataan yang tidak tepat dan memiliki dampak kontraproduktif.
Tito tentu menyadari bahwa salah satu masalah aparat kepolisian di Indonesia adalah maraknya budaya kekerasan dalam menjalankan tugas.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Ichsan Zikry menyatakan bahwa pernyataan ini tentu dapat menimbulkan pandangan yang menjustifikasi penggunaan kekerasan dalam bertugas.
“Tito semestinya mampu membedakan antara menggunakan upaya paksa (forced action) dengan menggunakan kekerasan (violence action)”.
“Upaya paksa yang menjadi kewenangan kepolisian sama sekali tidak identik atau dapat disamakan dengan tindak kekerasan yang dikatakan oleh Tito” jelas Ichsan.
Demonstrasi dan Kriminalisasi
Tito Karnavian memiliki catatan buruk ketika menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Tito melakukan kriminalisasi terhadap para buruh yang menyampaikan pendapat dimuka umum pada tanggal 30 Oktober 2015 di depan istana negara, untuk menuntut dicabutnya PP Pengupahan.
Dalam aksi damai buruh tersebut, Polda Metro Jaya dan jajarannya membubarkan aksi secara paksa, dan disertai dengan aksi kekerasan dari aparat kepolisian terhadap massa aksi.
Puluhan buruh terluka dan mobil komando milik buruh juga rusak akibat kekerasan polisi.
Tidak hanya sampai disitu, 23 orang buruh, 2 pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi aksi, dan 1 orang mahasiswa dikriminalisasi dengan tuduhan melawan perintah aparat, dan saat ini harus menjadi terdakwa di pengadilan negeri Jakarta Pusat.
Terkait hal ini, Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menegaskan bahwa meskipun Tito dinilai berprestasi dan salah satu perwira terbaik yang dimiliki Polri, akan tetapi Tito memiliki beberapa permasalahan khususnya terkait dengan isu hak warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Tindakan Polda Metro Jaya dibawah komando Tito yang mengkriminalisasi aksi Buruh yang berlangsung damai tentu sangat disayangkan.
“Tito lebih memilih menggunakan pendekatan kekuasaan dalam menghadapi aksi buruh”.
Begitupula halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta yang mendampingi para buruh. “Kriminalisasi terhadap pengabdi bantuan hukum yang memiliki hak imunitas tentu mengingatkan kita pada pada rezim orde baru”.
Polisi dan Pembubaran Kegiatan Hak Asasi Manusia
Pada akhir februari lalu acara Belok Kiri Fest yang menggelar kegiatan berupa workshop, pemutaran film, pentas musik, dan diskusi korban dengan mengangkat tema pelanggaran HAM, kekerasan negara terhadap masyarakat, ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan pembelokkan sejarah, mengalami gangguan salah satunya dari oknum kepolisian diwilayah Jakarta.
Acara ini pada dasarnya telah memperoleh izin, namun karena ada tekanan dari Ormas tertentu, pihak kepolisian justru memilih membubarkan acara tersebut.
Alghif menjelaskan bahwa sikap Tito yang tidak betul-betul menghormati hak asasi manusia juga terlihat saat tidak melindungi kegiatan Belok Kiri Fest, sebagai acara yang mempromosikan Hak Asasi Manusia, kepolisian justru malah mendiamkan atau bahkan menyetujui pembubaran acara tersebut.
Alghif juga menyinggung tindakan tito yang begitu represif dalam menangani aksi penyampaian pendapat dimuka umum saat melakukan penangkapan besar-besaran dan kekerasan terhadap Aliansi Mahasiswa Papua.
Polisi dan Penggusuran
Sepanjang karirnya menjadi Kapolda Metro Jaya, Tito bertanggungjawab atas keterlibatan kepolisian dalam serangkaian aksi penggusuran di Jakarta.
Tito mengatakan bahwa Polda tidak memiliki kewenangan untuk memimpin relokasi, dan pada dasarnya tugasnya membantu program pemerintah agar relokasi dapat berjalan dengan lancar dan tidak dengan cara kekerasan.
Tito juga membenarkan keterlibatan TNI dalam penggusuran (Kalijodo) dengan alasan diperlukan keterlibatan TNI untuk menghindari konflik dengan institusi lain, karena ada oknum tentara yang “bermain” di Kalijodo”.
Terkait hal ini, Pengacara Publik LBH Jakarta, Arif Maulana menyatakan “Tito inkonsisten dalam menempatkan peran dan fungsi kepolisian”.
Arif menjelaskan bahwa fungsi Polisi berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diantaranya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
“Dalam penggusuran di wilayah DKI Jakarta, hampir seluruhnya masih belum jelas status kepemilikan tanahnya, sehingga kehadiran Polisi dalam situasi penggusuran, semestinya bukanlah sebagai pihak yang turut membantu melakukan penggusuran, melainkan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat," jelas Arif.
Arif menambahkan, begitupula halnya dengan keterlibatan TNI, alasan yang dikemukakan Tito juga tidak serta merta menjadi dasar pembenar terhadap penyalahgunaan tugas dan fungsi TNI.
Pelanggaran HAM di Papua
Sepanjang tahun 2013, Tito yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolda Papua, diduga bertanggung jawab atas rangkaian dugaan pelanggaran HAM berupa penembakan, penghilangan paksa, pembunuhan, pelarangan dan pembubaran unjuk rasa yang diantaranya mengakibatkan korban 3 tewas, 2 luka-luka dan penangkapan sewenang-wenang terhadap 26 orang.
Terkait dengan dugaan adanya penangkapan dan atau penahanan sewenang-wenang, dikonfirmasi oleh Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai yang menyebutkan bahwa Tito memang melanjutkan kebijakan terkait tahanan politik, sekalipun angkanya tidak sebanyak sebelumnya.
Terkait hal ini, Ichsan Zikry menyebutkan “Catatan terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua sepanjang Tito menjabat sebagai Kapolda menunjukkan adanya kontradiksi antara sosok seorang Tito yang disebut-sebut sebagai orang yang sangat memahami nilai-nilai HAM, justru pada kenyataannya masih ikut serta menjadi bagian dari pelaku pelanggar HAM dan tidak benar-benar menghormati, memenuhi, melindungi Hak Asasi Manusia secara utuh”.
Berdasarkan catatan-catatan kami diatas, LBH Jakarta menuntut sebagai berikut:
1. Kepada siapapun kandidat Kapolri terpilih untuk memastikan reformasi di tubuh Polri khususnya dalam mendorong profesionalisme, independensi, trasparansi dan akuntabilitas kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsi kepolisian;
2. Kepada kandidat Kapolri terpilih untuk mendorong terwujudnya polisi sipil yang humanis dengan memastikan komitmen Kepolisian RI untuk menghormati, memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia dalam menjalankan tugas dan fungsi Kepolisian;
3. Mendesak kandidat Kapolri, Tito Karnavian untuk meminta maaf dan bertanggungjawab atas segala tindakan terkait pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tindak kekerasan, kriminalisasi, dan penyalahgunaan wewenang yang pernah dilakukan.
Hormat Kami, LBH Jakarta