Pada tanggal 10 Agustus 1998 komunitas ini bersepakat mendirikan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dengan misi ingin mendorong good governance dan pemberantasan korupsi yang merupakan masalah akut penyebab runtuhnya orde baru.
Sekali lagi berkat Pak MM maka tokoh-tokoh lintas disipiln, lintas generasi bersepakat bergabung.
Patut kita syukuri, bahwa pilihan pada tokoh itu pilihan yang tepat karena nama-nama itu sejak reformasi bergulir tahun 1998 sampai hari ini, mereka adalah orang orang terus berperan dari waktu ke waktu; terutama dalam menangani berbagi isu kebangsaan yang krusial.
Tiga catatan pribadi yang ingin saya share dalam pergaulan dengan Pak MM.
Suatu hari kami yang muda-muda bertanya, apa rahasia orang sebersih pak MM bisa melewati perjalanan karir di birokrasi yang korup sampai ke puncak?
Jawabnya sungguh mengesankan: "Kalau kita lihat mobil mogok, kita bisa hanya memandang dari kejauhan sambil berkomentar, atau ikut mendorong meminggirkan, atau syukur syukur bisa memperbaiki. Saya memilih ikut memperbaiki dengan risiko tangan ini akan kena debu dan oli, bahkan bisa luka.
Yang penting adala ketika kita pulang ke rumah, cuci tangan! Jangan biarkan oli dan kotoran masuk ke rumah tangga kita". Inilah yang menyebabkan Pak MM dikenal sebagai pribadi yang bersih, Mister Clean!
Catatan kedua adalah ketika tahun 1999 memasuki tahun 2000 keadaan keuangan MTI kurang menggembirakan. Padahal kami sedang meyiapkan dua hajat besar: 1) penyelenggaraan Leadership Training for Good Governance di 24 wilayah seluruh Indonesia dan 2) studi pendirian badan Independen anti korupsi (yang belakangan menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi).
Secara spontan Pak MM pada suatu malam memanggil para pengurus dan mengatakan: carikan pembeli mobil, saya mau melelang ex mobil dinas saya yang diberikan oleh Pemerintah.
Dan uang dari penjualan mobil bekas itu disumbangkan kepada MTI. Proses pendirian KPK juga tak lepas dari kerja keras Pak MM yang rajin berkomunikasi dengan para pemimpin partai maupun birokrasi.
Catatan ketiga yang amat membekas adalah ketika terjadi Tsunami di Aceh, pada saat yang sama Pak MM adalah Ketua Umum Palang Merah Indonesia.
Dengan cekatan Pak MM segera terbang ke lokasi dan memimpin langsung operasi tanggap darurat kemanusiaan.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada awal tahun 2005, Palang Merah Indonesia di bawah kepemimpinan Pak MM berperan sangat instrumental.
Membuka komunikasi dengan korban, dengan masyarakat Aceh dan dengan komunitas donor internasional.