Oleh: Tb. Adhi
SELASA, 27 Desember 2016, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memutus perkara yang didakwakan kepada Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mahmud Mattalitti. Perkara yang cukup menyita perhatian publik dalam setahun terakhir.
Posisi La Nyalla saat menjabat sebagai ketua umum PSSI sempat berseberangan dengan pemerintah. Hal inipun ikut memantik kesan bahwa kasusnya dipaksakan. Apalagi banyak pihak menilai, kejaksaan memang terlihat sangat “bernafsu” menyeret La Nyalla.
Semuanya serba bombastis: dari tudingan La Nyalla memutar duit ratusan miliar, paspornya dicabut, hingga rekening yang diblokir.
Seperti apa sebenarnya duduk masalahnya? Apa yang dilakukan La Nyalla dalam perkara penggunaan dana hibah Kadin Jatim ini? Tulisan ini adalah sebuah refleksi.
Mendalami setiap detil perkara. Menyelami isi dakwaan jaksa, bahkan sampai titik-komanya. Termasuk mendengarkan kembali saksi fakta dan saksi ahli.
Melalui tulisan ini, kami coba menyarikan fakta dan argumen hukum dalam perkara ini lewat tulisan bersambung. Sehingga masyarakat mendapat gambaran yang utuh dari perkara ini.
Tulisan pertama menyangkut detil perkara ini, mulai dari awal pengucuran dana hibah Kadin Jatim untuk akselerasi perdagangan antarpulau, penguatan-pengembangan UMKM, dan pengembangan Business Development Center (BDC) hingga perkara yang terjadi saat ini.
Tulisan kedua terkait posisi La Nyalla dalam pengelolaan dana hibah, dan sejauh mana kinerja penggunaan dana hibah tersebut.
Detil perkara ini perlu diungkap secara gamblang karena kerap kali diputarbalikkan, atau setidaknya disalahpahami. Catatan ini ditulis dengan konsep menghadirkan dakwaan jaksa dan fakta apa yang sesungguhnya terjadi. Ada beberapa dakwaan jaksa yang akan diulas.
Pertama, jaksa menyebut La Nyalla Mahmud Mattalitti (LNM) melakukan korupsi bersama-sama atau dalam konteks penyertaan (delneming) dengan Diar Kusuma Putra (DKP) dan Nelson Sembiring (NS).
DKP dan NS adalah wakil ketua umum Kadin Jatim yang telah dinyatakan bersalah dan menjadi terpidana dalam perkara ini pada persidangan Desember 2015. Kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Pertanyaannya: Apa benar La Nyalla ikut serta? Biarkan fakta persidangan yang berbicara. Dalam semua dokumen perkara ini sejak awal disidik kejaksaaan pada 2015, sama sekali tidak disebutkan bahwa La Nyalla ikut serta melakukan penyalahgunaan.
Tindakan pidana hanya dilakukan oleh DKP dan NS yang menyalahgunakan kepercayaan LNM, dan karena kesalahan itu, DKP dan NS telah menanggung dan menjalankan hukuman penjara serta denda. Mulai dari dakwaan, tuntutan, hingga putusan perkara tersebut, sama sekali tidak ada nama LNM yang dinyatakan terlibat atau turut serta melakukan tindakan pidana.
Bahkan, guru besar hukum UGM, Prof Edward Omar Syarif Hiariej, menyatakan, dengan tidak disertakannya LNM sebagai orang yang turut serta bersama DKP dan NS dalam perkara yang terdahulu, maka jaksa penuntut umum (JPU) telah tidak cermat dan tidak jelas dalam menyusun dakwaan.
Kesalahan JPU tersebut tidak bisa kemudian mengakibatkan pihak lain merugi. Dengan kata lain, dakwaan terhadap LNM seharusnya batal demi hukum. LNM sudah tidak dapat diajukan di muka persidangan.
Di persidangan, terungkap fakta bahwa tidak ada kesamaan kesengajaan (meeting of mind) untuk melakukan delik dan tidak ada kerjasama yang nyata untuk mewujudkan delik antara LNM, DKP, dan NS. Sehingga, menurut ahli Prof Edward, perkara ini tidak memenuhi unsur pasal penyertaan.
Fakta persidangan juga mengungkap bahwa LNM memang tidak terlibat penggunaan dana hibah Kadin Jatim. Karena semua diurus oleh DKP dan NS. Jadi secara riil memang LNM tidak ikut serta mengelola dan menggunakan dana hibah di luar ketentuan.
Bagaimana bisa orang yang tidak ikut serta, tidak terlibat, “dipaksa-paksa” dan ”didesain” sedemikian rupa agar dia ikut serta dan terlibat? Ini kesewenang-wenangan aparatur negara, dalam hal ini kejaksaan, yang pertama.
Kedua, LNM membuat dan menandatangani empat surat pendelegasian kewenangan pengelolaan dana hibah kepada saksi DKP dan NS yang diparaf oleh saksi Yudho pada 2015, sehingga seolah-olah dibuat tiap tahunnya.
Dakwaan JPU tersebut juga sudah terbantahkan. Surat pendelegasian sejatinya sebatas administrasi saja. Secara materiil, semua saksi sudah menyatakan bahwa sejak awal (2011) hingga 2014 yang melaksanakan kegiatan adalah DKP dan NS. Kedua orang itu melakukan semuanya, mulai dari pengelolaan kegiatan, keuangan, hingga pelaporannya.
Hal itu juga sudah ditegaskan dalam Kesepakatan Bersama (MoU) antara Gubernur Jawa Timur dan Ketua Kadin Jatim pada 2009 sebagai cikal-bakal pemberian dana hibah.
Di dalam MoU disebutkan secara tegas bahwa Gubernur Jatim dan Ketua Umum Kadin Jatim akan mendelegasikan pelaksanaan kegiatan dana hibah kepada masing-masing bawahan sesuai tugas dan fungsinya.
Dalam hal ini, Pemprov Jatim menunjuk satuan kerja Bidang Perekonimian, sedangkan Kadin Jatim menunjuk bidang terkait di dalam struktur wakil ketua umum, yakni Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring sebagai pelaksana kegiatan. Para saksi seperti Sumbangto dari Pemprov Jatim juga sudah menegaskan hal tersebut.
Secara de facto, LNM memang tidak pernah ikut serta mengelola dana hibah. Banyak saksi yang menegaskan apa adanya tentang hal itu. Misalnya, pihak agen perjalanan yang sama sekali tidak pernah berhubungan, rapat, atau bertemu LNM untuk membicarakan penggunaan dana hibah Kadin Jatim dalam hal akselerasi perdagangan antarpulau.
Padahal, logikanya, jika memang LNM ikut serta, tentu dia ikut “mengondisikan” pihak agen perjalanan (tour and travel). Karena pihak agen perjalanan berperan paling vital dalam kegiatan ini mengingat inti kegiatan adalah promosi UMKM ke berbagai daerah di luar Jatim dan luar Jawa. Kenyataannya, pihak agen perjalanan dalam mengatur dana untuk perjalanan hanya berhubungan dengan DKP.
Bahkan, auditor resmi (BPKP) secara tegas menyebutkan bahwa yang melakukan pengelolaan keuangan dan kegiatan dana hibah adalah DKP dan NS, sehingga kerugian keuangan negara yang timbul juga telah ditetapkan oleh BPKP sebagai tanggung jawab keduanya.
Dan DKP dan NS pun sudah menanggung akibat kesalahannya tersebut dengan membayar denda dan menjalani hukuman penjara. Apalagi, jelas bahwa laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan dana hibah Kadin Jatim selalu dibuat dan ditandatangani DKP dan NS. Kedua orang tersebut juga telah mengakui pendelegasian pengelolaan dana hibah sejak 2011, dan dalam pelaksanaannya, DKP dan NS mengaku bahwa mereka menjalankan semua inisiatifnya tanpa melibatkan LNM.
Ketiga, LNM didakwa bersama DKP dan NS menyiasati penggunaan dana hibah tidak sesuai peruntukannya dan melaporkan dalam laporan pertanggungjawaban seolah-olah sesuai dengan RAB dalam proposal.
Fakta mengungkapkan bahwa LNM sama sekali tidak ikut serta dalam pengelolaan dana hibah. Pengelola dana hibah sepenuhnya adalah DKP dan NS dengan dibantu staf bernama Heru Susanto. Auditor BPKP pun berhubungan hanya dengan DKP dan NS, karena memang dua orang itu yang menjalankan dana hibah. Logikanya, bagaimana bisa orang yang tidak ikut serta dalam pengelolaan kegiatan bisa mengatur peruntukan dana dan detil kegiatan?
Keempat, LNM didakwa pada 2012 menggunakan dana hibah sekitar Rp5,3 miliar untuk membeli saham IPO Bank Jatim atas namanya.
Mari kita telaah dakwaan ini—yang sejatinya juga telah terbantahkan di persidangan. Saksi dari Bank Jatim, yaitu Sri Bondan dan Ella, dan DKP memang membenarkan bahwa LNM ingin membeli saham IPO Bank Jatim. Sebagai pengusaha Jatim, LNM mengikuti imbauan Gubernur Jatim Soekarwo yang saat itu mengajak dunia usaha Jatim untuk ikut membeli saham Bank Jatim. Saksi Ella kemudian meminta tanda tangan LNM untuk pembukaan rekening Bank Jatim serta pernyataan minat dan kuasa untuk mendebet dalam rangka pembelian saham IPO Bank Jatim.
Setelah beberapa waktu berlalu, karena berbagai kesibukan, LNM belum memproses kembali minat tersebut. Lalu saksi Sri Bondan dari Bank Jatim pada 5 Juli 2016 menghubungi saksi Edy Kusdaryanto yang merupakan staf LNM di Kadin Jatim.
Ketika itu, batas waktu pembelian saham Bank Jatim sudah mepet. Lalu DKP menghubungi LNM yang sedang melakukan kegiatan bisnis dan organisasi di luar Surabaya. DKP gagal menghubungi LNM. Lalu pada 6 Juli 2012, DKP atas inisiatifnya sendiri meminta kepada Edy Kusdaryanto untuk menyiapkan Bilyet Giro yang berasal dari rekening dana hibah Kadin yang waktu itu memang sudah ada tanda tangan LNM, kemudian DKP juga membubuhkan tanda tangannya serta menyuruh saksi Edy Kusdaryanto untuk pergi ke Bank Jatim menemui saksi Sri Bondan. Saksi Edy Kusdaryanto menyerahkan BG yang belum ada nominalnya tersebut kepada Sri Bondan untuk dipindahbukukan ke rekening LNM di Bank Jatim. Selanjutnya, yang mengisi nilai nominalnya adalah pihak Bank Jatim.
Saksi Edy Kusdaryanto (bagian keuangan Kadin Jatim) menyatakan, yang berhak menandatangani cek BG rekening Kadin Jatim, termasuk rekening dana hibah, salah duanya adalah LNM dan DKP.
Sudah menjadi kebiasaan di Kadin Jatim, agar tidak menghambat operasional keuangan, LNM selalu meninggalkan satu atau dua cek yang sudah ia tanda tangani apabila mau bepergian untuk kepentingan bisnis dan organisasi. Faktanya, pada 6 Juli 2012 tersebut, memang ada cek yang sudah bertanda tangan LNM, sehingga hanya membutuhkan tanda tangan DKP untuk mencairkan.
Lalu pada 9 Juli 2012, DKP bisa menghubungi serta menemui LNM. DKP melaporkan bahwa pada 6 Juli 2102, ia memakai dulu dana hibah Kadin Jatim sebesar Rp5,3 miliar untuk dipindahbukukan ke rekening LNM karena didesak oleh Bank Jatim, mengingat batas waktu pembelian saham IPO sudah mendesak.
Sebagai orang yang telah lama berkecimpung di dunia bisnis dan organisasi, LNM tentu saja paham bahwa tindakan DKP melanggar administrasi. Kemudian LNM membuat surat pernyataan utang dan siap mengembalikan dana yang dipindahbukukan tanpa sepengetahuannya tersebut.
LNM terbukti berkomitmen mengembalikan dana hibah yang dipindahbukukan tersebut sepenuhnya, dan itu sudah terealisasi pada 7 November 2012. Maka jelas bahwa sama sekali tidak ada fakta penggunaan dana hibah Kadin Jatim untuk pembelian IPO Bank Jatim.
Fakta sebenarnya adalah terjadi peminjaman sementara atas inisiatif sepihak oleh DKP, dan dana itu telah dikembalikan seluruhnya oleh LNM. Hal ini juga memaparkan fakta bahwa tidak ada kerugian keuangan negara. Ahli Prof. Edward Omar Syarif Hiariej menyatakan, jika pengembalian uang negara dilakukan sebelum penyidikan, maka tidak termasuk kategori merugikan keuangan negara.
Kelima, LNM didakwa telah membuat surat pengakuan utang dari dana hibah sebesar Rp 5,3 miliar yang seolah-olah dilakukan pada 6 Juli 2012, padahal menggunakan materai tempel yang dicetak oleh Peruri pada 11 Juni 2014.
Dalam hal ini, lagi-lagi jaksa mengabaikan fakta materiil yang terjadi sesungguhnya sebagaimana telah secara jelas disampaikan semua saksi. Jelas telah menjadi fakta persidangan bahwa LNM awalnya tidak tahu soal dana hibah yang dipindahbukukan ke rekeningnya. DKP-lah yang berinisiatif melakukannya.
Saat tanggal dilakukan pemindahbukuan, bahkan LNM sama sekali tidak memberi izin dan tidak tahu-menahu. DKP saat itu memang menghubungi LNM, tapi tidak berhasil, sehingga LNM tidak tahu DKP kemudian bertindak sendiri melakukan pemindahbukuan.
LNM, seperti sudah dijelaskan pada poin empat, baru dilapori beberapa hari setelah pemindahbukuan tersebut. Tahu bahwa aksi DKP menyalahi aturan, LNM menyatakan sanggup segera mengembalikan dana tersebut. Dia mengaku bahwa dana itu adalah utang.
Dan faktanya uang yang dipindahbukukan tersebut telah dikembalikan sepenuhnya. DKP pun telah mengakui bahwa LNM telah mengembalikan dana tersebut. Surat pengakuan utang yang dibuat di kemudian hari sejatinya hanya untuk memperbaiki administrasi, dan secara material tidak memengaruhi fakta yang terjadi sesungguhnya.
Kelima, LNM didakwa bersama DKP dan NS seolah-olah merealisasikan pengakuan utang dan telah membuat 5 kuitansi pengembalian utang tertanggal 23 Juli 2012 hingga 7 November 2012, namun menggunakan materai tempel yang dicetak oleh Peruri pada 26 April 2014.
Dakwaan ini pun juga telah terbantahkan secara material dan substansial. Pada faktanya, DKP dan NS telah mengakui bahwa mereka menerima pengembalian dana yang dipinjam sebesar Rp5,3 miliar dari LNM dalam lima tahap pengembalian.
Patut ditegaskan bahwa nilai kekuatan pembuktian pada kuitansi tidak terletak pada materai, tetapi terletak pada isinya apakah dibenarkan atau tidak bagi yang terikat dengan kuintansi tersebut. Hal ini bukan penjelasan mengada-ada, karena sudah ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan praperadilan. Kuitansi yang dibuat di kemudian hari hanya sebagai kelengkapan administrasi dan bukti bahwa LNM telah mengembalikan dana tersebut dalam tahun 2012 itu juga.
Perlu ditegaskan kembali bahwa uang negara yang sudah dikembalikan jauh sebelum ada penyidikan bukan merupakan kerugian negara. Ahli UGM Prof Edward Omar Syarif Hiariej menyatakan, jika pengembalian uang negara dilakukan sebelum penyidikan, maka tidak termasuk kategori kerugian keuangan negara dan tidak merupakan tindak pidana. Kecuali pada saat penyidikan kerugian negara baru dikembalikan, maka itu tetap diperhitungkan sebagai kerugian negara dan merupakan tindak pidana.
Dana yang telah dikembalikan LNM ke Kadin Jatim tersebut kemudian digunakan untuk membiayai program/kegiatan sebagaimana mestinya, sehingga program Kadin Jatim yang didanai dana hibah, yaitu untuk akselerasi perdagangan antarpulau, penguatan-pengembangan UMKM, dan BDC, sama sekali tidak terganggu. Bukti bahwa program tidak terganggu dapat dilihat pada kinerja/dampak program Kadin Jatim yang akan diuraikan pada catatan kedua. (*/bersambung)