D1. The argument from ignorance; adalah fallacy yang argumentasinya terlihat benar oleh karena belum ada pembuktian mengenai kesalahan dari argumentasi tersebut. Atau
argumentasi terlihat salah oleh karena belum ada pembuktian mengenai kebenaran dari argumentasi tersebut. Contoh: Seorang bos mengatakan bahwa pendapatnya adalah benar karena tidak ada satupun dari peserta yang hadir pada rapat tersebut yang menentangnya. Ini adalah logical fallacy karena tidak ada pembuktian bahwa pendapatnya tersebut memang benar. Tidak adanya peserta rapat yang menentang bukan merupakan alasan yang benar untuk membenarkan pendapat si bos. Bisa jadi peserta rapat tidak ada yang menentang karena takut kepada si bos, bukan karena pendapat bos benar.
D2. The appeal to inappropriate authority; adalah fallacy yang argumentasinya terlihat atau dirasa benar oleh karena seorang ahli mengatakan bahwa argumentasi tersebut adalah benar. Contoh: Andi mengatakan bahwa pendapatnya benar karena dosennya berkata demikian. Apa yang dikatakan oleh Andi merupakan sebuah logical fallacy karena ia tidak menyampaikan sebab dari kebenaran pendapatnya, melainkan berlindung di balik otoritas seorang dosen sebagai yang lebih pakar darinya, dimana belum tentu sebuah pendapat dosen itu selalu benar.
D3. False cause; adalah fallacy yang argumentasinya menempatkan suatu penyebab yang bukan penyebab sebenarnya seolah-olah menjadi suatu akibat terjadinya permasalahan tertentu. Cirinya adalah menyambungkan hal yang terjadi bersamaan sebagai hubungan sebab-akibat. Contoh: Angka korupsi di negara ini meningkat dari tahun 2011-2016. Di saat bersamaan, kualitas pendidikan bangsa ini semakin meningkat dari tahun 2011-2016. Lalu, ada seseorang yang berkesimpulan bahwa tingginya kualitas pendidikan itu justru menyebabkan tingginya angka korupsi di negara ini. Pendapat orang tersebut merupakan logical fallacy karena ia mengaitkan antara dua hal yang bukan sebab akibat seakan-akan menjadi suatu sebab akibat.
D4. Hasty generalization; adalah fallacy yang argumentasinya berdasar pada sejumlah kecil kejadian atau fakta tetapi berani digeneralisasikan sebagai akar masalah atau penyebab dari suatu fenomena. Atau dengan kata lain fakta yang belum valid sudah dijadikan dasar generalisasi. Contoh: Tokoh A merupakan tokoh yang paling berhasil dalam membangun kota X. Lihat saja sejak kepemimpinannya, kota X ini menjadi bersih, tidak terlihat sampah yang berserakan, pemandangan kota jadi terlihat indah. Jelas tokoh A lebih berkualitas daripada tokoh B yang selama kepemimpinannya tidak mampu menjadikan kota X ini menjadi bersih dan indah. Pernyataan di atas merupakan logical fallacy karena terlalu cepat dalam menarik kesimpulan tentang kualitas tokoh yang hanya didasarkan pada satu parameter kebersihan kota saja, sementara terdapat banyak parameter penilaian yang sudah secara baku berlaku untuk menilai kinerja seseorang secara lengkap.
Jenis-Jenis Logical Fallacies (bagian 3)
Di samping 11 jenis logical fallacy yang diuraikan di atas, ada juga beberapa pola logical fallacy yang lain. Pola-pola di bawah ini ada yang berupa pola fallacy yang lain atau ada juga yang merupakan sintesis dari pola fallacy yang berasal dari fallacy dasar di atas. Beberapa pola logical fallacy tersebut antara lain:
A. The fallacy fallacy; yaitu fallacy yang argumentasinya menggunakan pola karena seseorang melakukan logical fallacy dalam memperkuat argumennya, maka argumen itu pasti salah. Contoh: Jim mengatakan bahwa merokok itu berbahaya karena dapat menyebabkan diare. Hal ini tentu saja salah dan Andy membantahnya. Andy berkesimpulan bahwa merokok itu menyehatkan. Dalam hal ini Andy melakukan logical fallacy karena meskipun merokok itu tidak menyebabkan diare, belum tentu merokok itu menyehatkan.
B. Black or White (false dichotomy); yaitu fallacy yang argumentasinya bersifat memberikan dua alternatif pilihan saja padahal sebenarnya ada pilihan lain. Contoh: Kalo kamu tidak mendukung tokoh X, kamu pasti pendukungnya tokoh Y. Padahal tidak mendukung tokoh X bisa jadi bukan karena mendukung tokoh Y, tapi karena alasan yang lain.
Contoh lainnya: Kamu banyak berteori, kamu pasti nggak bisa praktek. Padahal banyak berteori bukan berarti nggak bisa praktek. Banyak orang yang pandai berteori dan pandai praktek, dan ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan keakuratan teori dan penguasaan praktek yang tinggi. Artinya teori dan praktek bukanlah hal yang
berlawanan. Logical fallacy lah yang menjadikannya seakan-akan berlawanan.
C. Bulverisme; yaitu fallacy yang argumennya berpola mempertanyakan niat lawan bicara. Contoh: Kamu bilang begitu cuma karena kamu ingin dikenal, kan? Ini merupakan pertanyaan dari seorang yang melakukan logical fallacy. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, bisakah kita tahu secara pasti apa motif lawan pendapat kita? Tidak ada yang bisa menjamin. Sering kali mungkin kita sendiri yang berprasangka buruk. Siapa tahu itu hanyalah hasil egoisme kita yang tidak mau pendapat sendiri disalahkan. Intinya, kita selayaknya menaruh prasangka baik pada lawan bicara kita. Biarkan bukti-bukti dan bukan prasangka kita yang menilai kebenaran pendapatnya. Soal niat apa yang tersembunyi dalam hati, biarkan itu jadi urusan pribadi masing-masing.
D. Slippery Slope; yaitu fallacy yang berpola kita tidak setuju dengan kejadian A karena kekhawatiran jika dibiarkan akan muncul kejadian B, C, D, E, dan seterusnya sampai Z dengan pola pikir yang tidak berpola benar. Contoh: Jika presiden melakukan kerjasama dengan negara X, maka negara ini akan menjadi bangkrut, teracuni oleh paham sesat, dan akan dipecah belah untuk terjadinya perang saudara. Pernyataan ini merupakan pernyataan yang dikembangkan tanpa pola yang jelas sehingga termasuk logical fallacy.
Permasalahan yang sebenarnya bukan pada kerjasamanya tetapi pada bagaimana kerjasama yang dijalinnya. Pemunculan kekhawatiran akan fenomena-fenomena lain yang disebutkan, tidak dikembangkan dari fakta yang ada. Namun demikian, pemikiran yang mirip dengan pola slippery slope bisa juga tidak bermakna fallacy, dan justru merupakan sebuah ketajaman pemikiran. Contoh: Jika tidak menurunkan kecepatan sekarang, mobil ini akan akan mengalami selip dan menabrak tebing di belokan yang ada di depan.
Pernyataan ini merupakan bentuk kekhawatiran yang logis, atau bahkan merupakan suatu pengetahuan akan pola yang akan terjadi akibat sebuah pengalaman seseorang yang
memahami tentang sifat mobil dan hukum-hukum fisika sehingga yang dikatakannya tidak bersifat mengada-ada, dan termasuk dalam suatu prediksi.
E. Argumentum ad Temperantiam (middle ground) ; yaitu fallacy yang menyatakan bahwa pandangan pertengahan adalah sesuatu yang benar tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Serta juga menganggap jalan tengah sebagai pertanda kekuatan suatu posisi. Meskipun dapat menjadi nasihat yang bagus, namun kesesatannya disebabkan karena ia tak punya dasar yang kuat dalam argumen karena selalu berpatokan bahwa jalan tengah adalah yang benar. Penggunaannya kadang dengan membuat-buat posisi lain sebagai posisi yang ekstrim.
Contoh: Budi mengatakan kepada Ratih, “Daripada kamu bersama Rudi yang terlalu ganteng dan playboy, atau bersama Bejo yang jelek dan cupu, mendingan kamu sama aku saja yang tengah-tengah, nggak playboy, jelek-jelek amat, dan nggak cupu.” Argumen nilai tengah nggak playboy, nggak jelek-jelak amat, dan nggak cupu bukanlah alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa Budi lebih baik daripada dua teman lainnya yang dibandingkan, dan juga bukan merupakan alasan yang benar untuk dijadikan sebagai landasan bagi Ratih untuk memilih Budi. Pernyataan Budi tak lebih dari sebuah rayuan pengalihan fokus bagi Ratih agar mau menjadi kekasihnya, bukan merupakan nasehat yang didasari oleh pola pikir yang benar.