PIDANA: 4) Pemidanaan dengan pasal kekerasan dan eksploatasi terhadap ibu kandung si bayi, 5) Pemberatan sanksi karena tersangka-pelaku adalah orang dekat korban.
Terkait kondisi psikis tersangka-pelaku, LPAI bersikap bahwa agar proses hukum bisa berjalan efektif mencapai sasaran-sasaran di atas, harus diasumsikan bahwa tersangka-pelaku adalah individu yang sehat, normal, waras, dan tidak kehilangan nalar moralnya.
Apabila hasil pemeriksaan terhadap tersangka pelaku menunjukkan adanya kondisi psikologis tertentu, penting dipahami bahwa tidak semua diagnosa psikologis dapat berkonsekuensi pada dikenakannya pasal 44 KUHP.
Otoritas hukum dapat melibatkan pihak ketiga guna memastikan bahwa tersangka-pelaku tetap waras untuk dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.
LPAI menjunjung azas praduga tak bersalah.
Pada sisi yang sama, mencermati adanya istilah-istilah psikologis tertentu yang mulai dilekatkan ke diri tersangka-pelaku, LPAI berpesan agar semua pihak--utamanya lembaga penegakan hukum--mewaspadai kemungkinan malingering.
Malingering adalah modus berpura-pura sakit yang dijadikan sebagai strategi untuk memanfaatkan pasal 44 KUHP.
LPAI mengajak publik dan media untuk terus menyemangati Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pemberkasan atas kasus ini.
Media juga perlu menjaga stamina agar hilir dari proses hukum ini tetap terkabarkan ke khalayak luas.
Alih-alih berada pada fase heboh seperti sekarang ini, efek tangkal dan efek jera sesungguhnya terletak pada seberapa jauh hukuman yang dijatuhkan ke terdakwa diketahui oleh publik.
Tak dapat dikesampingkan, mari kita jaga identitas dan martabat si bayi.
Kelalaian dengan membuka identitas anak-korban dapat memunculkan efek viktimisasi sekunder yang kontraproduktif bagi kehidupannya selanjutnya.
Penulis: Seto Mulyadi,Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia)
Sekretaris Jenderal Henny Roesmiati