Ditulis oleh Tribunners, Dr Sawedi Muhammad MSc, Dosen Sosiologi Fisip Unhas
TRIBUNNERS, MAKASSAR - Dinamika relasi kuasa antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, semakin menarik dicermati.
Pemerintah RI secara tegas memberi penekanan bahwa apabila perusahaan tambang yang berstatus Kontrak Karya (KK) bermaksud melanjutkan operasinya, maka mereka harus mematuhi syarat-syarat yang telah dimanatkan oleh UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Syarat-syarat itu adalah perubahan status dari KK menjadi Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK), divestasi saham sampai 51%, membangun pabrik pengolahan (smelter), meningkatkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri (local content) serta membayar kenaikan royalti tembaga dari 3,5 persen menjadi 4 persen, royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dan perak dari 1 persen menjadi 3,25 persen.
Merasa dirugikan dengan diterbitkannya PP No 1/2017, PTFI tidak serta merta melakukan penyesuaian terhadap ketentuan yang ditetapkan di dalam PP tersebut.
PTFI berpendapat bahwa KK yang dimiliknya masih berlaku sampai 2021 dan olehnya itu tidak harus mematuhi ketentuan yang diwajibkan baik di dalam UU Minerba tahun 2009 atu pun PP No 1/2017.
Di sela-sela kunjungannya di Jakarta bulan Pebruari 2017 lalu, Richard Adkerson, President Freeport-Mc-Moran bahkan mengancam Indonesia untuk membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional apabila dalam waktu beberapa bulan tidak menemukan kesepakatan.
Dalam perkembangannya, PTFI kemudian bersedia merubah KK menjadi IUPK, menerima kenaikan royalti dan akhirnya menyetujui divestasi saham yang disyaratkan pemerintah.
PTFI kemudian dengan penuh percaya diri mengajukan syarat stabilitas investasi yang akan menjamin izin penambangannya diperpanjang dua kali 10 tahun hingga 2041.
Di samping itu, PTFI juga mensyaratkan agar keseluruhan pembayaran iuran dan royalti bersifat tetap (nail down), tidak berubah-ubah (prevailing) seperti saat ini.
Mengapa PTFI menolak mentaati aturan perundangan-undangan dari sebuah negara berdaulat? Kekuatan apa yang mendorong PTFI sehingga berani menentang otoritas sebuah negara bangsa?
Negara Bangsa (Nation State)
Sosiolog Max Weber dalam essainya, “Politics as a Vocation” (1919) mengatakan “the state is the only human gemeinschaft which lays claim to the monopoly on the legitimated use of physical force. However, this monopoly is limited to a certain geographical area, and in fact this limitation to a particular area is one of the things that defines a state."
Menurut Weber, sebuah negara adalah organisasi yang memiliki legitimasi tunggal dalam menjalankan aturan, termasuk monopoli penggunaan kekerasan fisik di dalam wilayah geografis tertentu.
Weber ingin menunjukkan bahwa hanya negara yang memiliki legitimasi eksklusif penggunaan kekerasan dalam wilayah teritorialnya karena pada faktanya banyak prilaku kekerasan yang dilakukan oleh berbagai kelompok atau organisasi tertentu dalam masyarakat.
Bahkan monopoli negara dalam menggunakan kekerasan banyak ditentang oleh aktor-aktor non-negara seperti kekuatan militer yang meminta otonomi dari negara, kelompok teroris dan organisasi kejahatan yang terorganisir.
Berdasarkan definisi Max Weber tentang negara, maka Indonesia sebagai negara berdaulat mestinya dapat memaksa siapa pun dalam wilayah teritorialnya untuk tunduk dan patuh terhadap kebijakan yang dijalankannya.
Tetapi dalam kasus penerapan UU Minerba No. 4/2009, mengapa Indonesia tidak mampu menundukkan PTFI agar mematuhi undang-undang yang berlaku di wilayah teritorialnya?
Keistimewaan Kontrak Karya
Perlu dipahami bahwa PTFI beroperasi di Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan KK yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Meski banyak spekulasi dan kontroversi mengenai status KK yang menurut salah satu laporan investigasi jurnalistik David Ransom bahwa keabsahaan KK tersebut diragukan karena hanya ditandatangani oleh seorang pejabat presiden.