Pemerintah melalui menteri ESDM (Selasa, 29/8/2017) mengklaim bahwa PTFI telah sepakat dengan perubahan rezim KK ke rezim IUPK dengan masa berlaku pepranjangan operasi maksimum 2 X 10 tahun, artinya tahun 2031 dan 2041.
Menurut Menteri Jonan, IUPK 10 tahun kedua akan diperpanjang apabila review hasil kesepakatan lainnya mencapai target, termasuk pembangunan smelter yang harus selesai dalam 5 tahun yaitu 2022. Menteri ESDM juga menyatakan bahwa PTFI telah sepakat untuk melakukan divestasi saham sampai 51%.
Di pihak lain, CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson dalam jumpa persnya menegaskan bahwa kesepakatan merubah KK menjadi IUPK akan memberikan hak-hak operasi jangka panjang bagi PTFI hingga 2041.
Dalam perspektif Adkerson, pemerintah Indonesia dengan sendirinya akan menjamin stabilitas investasi operasi jangka panjang sampai 2041 dan tidak lagi melalui tahapan 2 X 10 tahun seperti yang dijelaskan menteri ESDM.
Kesepakatan ini sangat rawan interpretasi. Isu lain yang paling kritikal adalah masalah divestasi saham.
PTFI sepakat untuk divestasi berdasarkan harga pasar yang wajar sehingga kepemilikan Indonesia atas saham PTFI akan mencapai 51%.
Dari jumpa pers Adkerson (detikfinance, 29/8/2017) ditegaskan bahwa divestasi akan diatur, sehingga FCX (induk perusahaan PTFI) akan tetap memegang kendali atas operasi dan tata-kelola PTFI. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin pemegang saham yang tidak lagi mayoritas tetap ingin mengendalikan jalannya perusahaan?
Mengabaikan Isu Kritis
Sejak disahkannya UU No. 4 tentang Minerba/2009, energi pemerintah khususnya ESDM banyak tersita untuk mengurus sengketa dengan PTFI.
Publik menangkap kesan bahwa seolah-olah hanya PTFI yang bermasalah dengan UU Minerba yang baru.
Padahal terdapat 112 perusahaan pertambangan yang akan diatur oleh UU ini; yaitu 37 pemegang KK dan 75 pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Selain itu terdapat pesan kuat betapa dominasi pemerintah pusat dalam hal ini kementerian ESDM dan Keuangan dalam mengatur jalannya negosiasi.
Keterlibatan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan masyarakat lokal/adat dimana perusahaan beroperasi sangatlah minim.
Pokok masalah yang di-renegosiasikan pun tidak mencerminkan persoalan ril yang terjadi di lapangan.
Isu kritikal seperti hak-hak ulayat masyarakat adat tidak dijadikan agenda negosiasi, meski salah satu masalah paling mendasar dalam eksploitasi sumber daya alam di Indonesia adalah semakin marginalnya kondisi masyarakat adat di wilayah operasi perusahaan.
Masalah lingkungan juga tidak kalah pentingnya. Koran Tempo, 8 Mei 2017 memuat secara detil laporan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) mengenai limbah PTFI yang mencemari laut.
Nilai kerugian negara ditaksir sekitar 185 Triliun Rupiah. Menurut hasil audit BPK, pencemaran berawal dari ketidakmampuan kolam penampungan (Modified Ajkwa Deposition Area/ModADA) menampung limbah.
Titik penataan limbah di area kolam sudah hilang lantaran tertimbun pasir sisa tambang. BPK mencatat kerugian terbesar berasal dari laut, yaitu 166 Triliun.