Mengapa orang-orang berbondong-bondong nyaleg?
Ada gula ada semut, demikian kata pepatah. Gula adalah kekuasaan, semut adalah mereka yang berburu kekuasaan. Kekuasaan juga ibarat opium, candu, atau ganja yang membuat penikmatnya ketagihan.
Terbukti, banyak di antara para caleg itu adalah incumbent atau petahana anggota DPR RI/DPRD periode 2014-2019, bahkan banyak pula yang sudah duduk di DPR RI atau DPRD pada periode-periode sebelumnya, termasuk di era Orde Baru.
Mereka yang kini duduk di eksekutif sebagai menteri di Kabinet Kerja juga tak mau ketingggalan.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, bahkan Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Saptopribowo dipastikan maju sebagai caleg dari PDIP.
Tiga menteri dari PKB, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri, dan Menteri Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sanjoyo juga dipestikan maju lagi sebagai caleg.
Demikian pula Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur dari PAN dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dari PPP. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Golkar) dan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (PAN) juga tak mau kalah.
Tak Ada Lawan Abadi
Mengapa mereka berbondong-bondong menjadi caleg? Friederich Nietzsche, filsuf eksistensialis asal Jerman, dalam “The Will of Power” menyatakan, manusia yang unggul selalu memiliki kehendak untuk berkuasa.
Manusia unggul tidaklah tercipta dari alam, tetapi manusia yang harus melalui banyak proses seleksi alam, dan manusia-manusia yang dapat bertahan tersebutlah yang akan menjadi manusia unggul dengan segala proses perbaikan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang semakin tinggi untuk meningkatkan derajat dan kemampuannya.
Energi kekuatan dan intelektualitas yang tinggi cenderung mendorong setiap manusia untuk memiliki kehormatan atau kebanggaan diri sehingga menjadi manusia unggul.
Nietzsche menganggap kehadiran manusia di dunia untuk hidup adalah sebuah perjuangan untuk terus berada dalam satu ekosistem sebagai suatu organisme yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya di dunia. Untuk dapat bertahan hidup (survive) maka manusia sangat dituntut untuk memiliki kemampuan yang kita sebut kebagai kekuatan.
Tak ada ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Demikian adagium di dunia politik. Hal ini juga terjadi di Pemilu 2019 nanti. Banyak caleg dari satu parpol pindah ke parpol lain, termasuk mereka yang tergolong public figure (tokoh publik), sehingga mereka harus bertarung dengan teman-teman parpol asalnya, bahkan dengan teman separpol barunya.