Dikirimkan oleh Johan Djanur, Mahasiswa fakultas hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ditinjau dari realitas historis perjalanan perpolitikan Indonesia, keterlibatan kaum muda dalam upayah mentransformasi sistem, nilai-nilai dan proses politik dari era kolonial sampai era milenial, cukup diperhitungkan.
Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai peristiwa masa lalu yang menjadikan kaum muda sebagai agen of change dari pelbagai persoalan yang mencabik dan menyayat kehidupan demokrasi Indonesia saat itu.
Beberapa di antaranya, yaitu peristiwa Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan politik yang menyatukan bangsa Indonesia dalam satu bangsa, tanah air, dan bahasa.
Sedangkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebuah tindakan politik yang menciptakan hukum dan berfungsi sebagai bentuk pembuktian hukum dari sebuah bentuk kemerdekaan.
Baca: Waduh, Donald Trump Akan Kenakan Pajak 25 Persen untuk Mobil-mobil Asal Eropa
Karya kaum muda Indonesia tidak cukup sampai di situ, tahun 1966 dengan berbagai kesatuan aksi yang dibentuk kaum muda terutama dari golongan mahasiswa kembali menyerukan semangat perubahan.
Jargon Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) menjadi seruan utama, dengan desakan tersebut pada akhirnya rezim orde lama berganti menjadi orde baru yang kelahirannya turut dibidani oleh pemuda terutama mahasiswa.
Berlanjut kemudian, gerakan mahasiswa juga yang meruntuhkan pemerintahan orde baru akibat produk hukum yang dijalankan bersifat konservatif atau ortodoks, atau dengan kata lain politik yang dijalankan bersifat otoriter berbasis birokrasi dan militer.
Kalau dicermati lebih mendalam, konstruksi dan produktifitas politik yang terjadi saat ini tidak lari jauh dari keadaan politik era orla maupun orba.
Kapitaliasi dan instrumentaliasi politik dengan hanya mengutamakan pembangunan ekonomi fisik dan profit, cendrung membawa angin segar bagi perkembangan sistem ekonomi kapitalis dan tumbuh sumburnya paraktik KKN serta badai besar bagi keadaan ekonomi kerakyatan.
Bagaimana tidak, praktek politik yang syarat kalkulatif memberi ruang gerak yang leluasa bagi kaum bermodal untuk menikmati berbagai kebijakan politik dalam mengembangkan dan meningkatkan taraf pendapatan kaum kapitalis.
Kalkulasi dasar dari para politisi dalam transaski demikian tidak lain hanya untuk mendapatkan dana untuk kelancaran proses politik dan kelancaran mobilisasi mesin partai.Tak jarang, kebijakan dan taraf kesejahteraan ekonomi rakyat miskin, semakin dilupakan.
Di lain sisi, ketimpangan hukum dan gagalnya pelbagai produk hukum memberi stigma negatif dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di negeri ini. Sebagai contoh, rentetan kasus besar, seputar maraknya tindak pidana korupsi, sampai saat ini belum bisa ditangani secara maksimal oleh instansi penegak hukum.
Tambah lagi, pelbagai produk hukum (undang-undang) yang dibuat oleh badan legislatif nyatanya diwarnai dengan politik transaksional.