Di luar ASN dan pegawai BUMN, HTI tampaknya juga sedang mencari celah untuk bisa “menyerang” Indonesia, antara lain melalui aksi-aksi demonstrasi berkedok agama yang mereka tunggangi, dan juga diskusi bertajuk “Syiar dan Silaturahim Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 H” dengan tema “Indonesia Titik Awal Kebangkitan Islam Dunia” di Bogor yang digagalkan polisi akhir pekan lalu.
Bagi pemerintah dan polisi, menghadapi diskusi tentang Khilafah tentu sangat dilematis atau bak makan buah simalakama: bila diizinkan maka paham Khilafah akan terus berkembang, bila tidak diizinkan maka pemerintah bisa dituduh macam-macam, seperti anti-demokrasi, anti-Islam bahkan memusuhi ulama.
Tapi baiklah, apa yang dilakukan Polri, khususnya Polres Bogor, yang menggagalkan diskusi tentang Khilafah dengan tidak menerbitkan izin acara tersebut, sudah tepat.
Bagaimana bisa orang-orang yang mengusung paham Khilafah, yang berarti menolak Pancasila dan demokrasi, minta diperlakukan demokratis? Kalau memang tidak percaya dengan demokrasi, mestinya mereka juga menolak perlakuan demokratis.
Ultimatum
Sebagaimana komunisme, paham Khilafah juga dilarang di Indonesia, karena kedua paham tersebut bertentangan dengan Pancasila.
Larangan terhadap paham Khilafah idem ditto dengan larangan terhadap HTI, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM No AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI.
Pencabutan dilakukan sebagai tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Pada 7 Mei 2018, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan yang diajukan HTI. Gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT tersebut didaftarkan HTI pada 13 Oktober 2017.
Ada tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bagaimana dengan nasib 19,4% ASN dan para pegawai BUMN yang anti-Pancasila dan pro-Khilafah?
Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap mereka, misalnya, dengan memberikan tindakan administratif, atau ultimatum apakah akan tetap menjadi ASN dengan kembali bersumpah setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagaimana sumpah jabatan yang pernah mereka ucapkan, ataukah keluar dari ASN.
Betapa munafiknya bila mereka anti-Pancasila, tapi tetap “mencari makan” dari negara Indonesia yang menganut ideologi Pancasila.