News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kuda Troya Khilafah Menyusup ke Pemerintah?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan kisah Kuda Troya? Dikutip dari Wikipedia, setelah pengepungan selama 10 tahun tidak membuahkan hasil, pasukan Yunani membangun sebuah kuda kayu raksasa dan menyembunyikan beberapa prajurit di dalamnya.

Pasukan Yunani berpura-pura berlayar pergi, lalu pasukan Troya menarik kuda kayu ini ke kota mereka sebagai lambang kemenangan.

Malam harinya, pasukan Yunani keluar dari kuda kayu tersebut dan membuka pintu gerbang untuk pasukan Yunani lainnya, yang kembali mendatangi kota Troya dengan memanfaatkan persembunyian malam. Pasukan Yunani memasuki kota Troya dan kemudian menghancurkannya, sehingga mengakhiri perang.

Apakah kini pemerintah Indonesia juga sudah disusupi kuda Troya untuk menghancurkan negara ini dari dalam?

Kekhawatiran tersebut tampaknya tak berlebihan. Simak saja data Kementerian Dalam Negeri yang mengutip hasil survei lembaga Alvara Strategi Indonesia pada Oktober 2017 yang menyatakan 19,4% Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau kini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak setuju dengan Pancasila, dan lebih percaya dengan ideologi Khilafah.

Di sisi lain, Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyebut 41% atau 41 dari 100 masjid milik kementerian, lembaga, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah terpapar paham radikalisme. Rinciannya, 10 masjid di kementerian, 10 masjid di lembaga, dan 21 masjid milik BUMN.

Pernyataan BIN itu merujuk pada hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan, 29 September 2017 hingga 21 Oktober 2017, yang menyebut ada 41 masjid milik lembaga pemerintah di Jakarta yang terindikasi terpapar paham radikal.

Yang terbanyak terpapar paham radikal adalah masjid BUMN, yakni 21 masjid. Rinciannya, tujuh masjid dengan level paparan radikal berat, 13 masjid level sedang, dan satu masjid level rendah.

Pertanyaannya, bagaimana bisa ASN yang “mencari makan” dari negara, hendak mengganti ideologi negara, yakni Pancasila, dengan Khilafah? Bagaimana bisa pula para pegawai BUMN yang juga “mencari makan” dari negara, hendak mengganti Pancasila?

Khilafah adalah paham yang selama ini identik dan diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sudah dilarang pemerintah Indonesia.

Apakah sudah sejak puluhan tahun lalu HTI berupaya “menyelundupkan” orang-orangnya menjadi ASN dan pegawai BUMN, dan pelan-pelan mulai merekrut ASN dan pegawai BUMN lainnya sehingga lama-lama bisa membesar dan akhirnya bisa mengganti Pancasila dengan Khilafah?

Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, keberadaan 19,4% ASN yang anti Pancasila dan merebaknya paham radikal di kalangan pegawai BUMN menunjukkan pemerintah telah kecolongan. Telah terjadi keteledoran pemerintah dalam perekrutan ASN dan pegawai BUMN di masa lalu.

Dua kecenderungan tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah, jangan sampai negara ini bisa mereka hancurkan dari dalam, sebagaimana pasukan Yunani menghancurkan kota Troya dengan menyusup melalui kuda kayu.

Di luar ASN dan pegawai BUMN, HTI tampaknya juga sedang mencari celah untuk bisa “menyerang” Indonesia, antara lain melalui aksi-aksi demonstrasi berkedok agama yang mereka tunggangi, dan juga diskusi bertajuk “Syiar dan Silaturahim Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 H” dengan tema “Indonesia Titik Awal Kebangkitan Islam Dunia” di Bogor yang digagalkan polisi akhir pekan lalu.

Bagi pemerintah dan polisi, menghadapi diskusi tentang Khilafah tentu sangat dilematis atau bak makan buah simalakama: bila diizinkan maka paham Khilafah akan terus berkembang, bila tidak diizinkan maka pemerintah bisa dituduh macam-macam, seperti anti-demokrasi, anti-Islam bahkan memusuhi ulama.

Tapi baiklah, apa yang dilakukan Polri, khususnya Polres Bogor, yang menggagalkan diskusi tentang Khilafah dengan tidak menerbitkan izin acara tersebut, sudah tepat.

Bagaimana bisa orang-orang yang mengusung paham Khilafah, yang berarti menolak Pancasila dan demokrasi, minta diperlakukan demokratis? Kalau memang tidak percaya dengan demokrasi, mestinya mereka juga menolak perlakuan demokratis.

Ultimatum

Sebagaimana komunisme, paham Khilafah juga dilarang di Indonesia, karena kedua paham tersebut bertentangan dengan Pancasila.

Larangan terhadap paham Khilafah idem ditto dengan larangan terhadap HTI, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM No AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI.

Pencabutan dilakukan sebagai tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Pada 7 Mei 2018, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan yang diajukan HTI. Gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT tersebut didaftarkan HTI pada 13 Oktober 2017.

Ada tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bagaimana dengan nasib 19,4% ASN dan para pegawai BUMN yang anti-Pancasila dan pro-Khilafah?

Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap mereka, misalnya, dengan memberikan tindakan administratif, atau ultimatum apakah akan tetap menjadi ASN dengan kembali bersumpah setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagaimana sumpah jabatan yang pernah mereka ucapkan, ataukah keluar dari ASN.

Betapa munafiknya bila mereka anti-Pancasila, tapi tetap “mencari makan” dari negara Indonesia yang menganut ideologi Pancasila.

Bagaimana kalau dipidanakan? Sepanjang tidak melakukan gerakan makar, mereka jelas tidak bisa dipidanakan, karena pemikiran seseorang memang tidak bisa dipidanakan. Kecuali bila pemikiran itu sudah mereka manifestasikan ke dalam perbuatan.

Adapun larangan terhadap komunisme tertuang dalam Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Aturan kedua yang digunakan negara untuk memberangus komunisme ialah Pasal 107 UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 19 Mei 1999.

Ekstrem kiri seperti PKI dan komunisme, serta ekstrem kanan seperti HTI dan Khilafah, sama-sama telah dilarang di Indonesia. Lalu, ada apa dengan para ASN dan pegawai BUMN yang anti-Pacasila dan lebih percaya dengan Khilafah?

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini