Dana otonomi khusus misalnya. Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp 67,1 triliun dalam rentang waktu 2002 sampai 2017.
Dana tersebut dikucurkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Papua baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 19,3 triliun untuk mempercepat konektivitas antar wilayah (Okezone, Februari, 2018).
Meski rupiah melimpah ke Papua, kesejahteraan masyarakatnya tidak banyak berubah. Gizi buruk dan angka kematian bayi termasuk tertinggi di Indonesia. Catatan Oxfam tahun 2005, terdapat 69.883 penderita gizi buruk, 58 diantaranya meninggal.
Sementara Unicef tahun 2015 mencatat angka kematian balita dan gizi buruk di Papua mencapai tiga kali lipat dibanding Jakarta atau 81 persen per seribu kelahiran (CNN Indonesia, Januari, 2018).
Kontroversi non-ekonomi
Meski begitu banyak manfaat ekonomis dari divestasi saham PTFI, dampak non-ekonomisnya juga sangat banyak.
Terdapat beberapa catatan kritis yang penulis tawarkan untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, sejarah masuknya PTFI di Indonesia melalui Kontrak Karya (KK)1967 memiliki landasan hukum yang meragukan.
Denise Leith (2002) dalam bukunya "The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia," menegaskan bahwa Indonesia belum mendapatkan pengakuan internasional atas wilayah Papua saat KK di tandatangani.
Nanti setelah hasil dari "Act of Free Choice" atau Pepera 1969 diakui oleh PBB kemudian menjadi dasar penguasaan Indonesia atas tanah Papua mendapatkan legitimasinya.
Leith menambahkan bahwa yang menandatangani perjanjian KK bukanlah Presiden RI tetapi Letjen Soeharto sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan yang juga sebagai Presidium Kabinet Ampera.
Kedua, dalam KK, PTFI diberikan keleluasaan melakukan aktivitas penambangan tanpa kewajiban berkonsultasi dengan pemilik hak ulayat atas wilayah Grasberg dan Ertsberg yaitu suku Amungme dan Kamoro.
Pandangan kosmologi TU NI ME NI suku Amungme disepelekan. Bagi mereka, alam semesta merepresentasi seorang perempuan.
Kepalanya adalah pegunungan (grasberg dan ertsberg), dada dan rahimnya adalah lembah dan ngarai. Sedangkan sungai adalah air susu yang terus mengalir.