Bagi Amungme, PTFI telah membunuh ibunya dengan sadis, mengotori air susunya dengan limbah yang darinya mereka menggantungkan hidup dan masa depannya (Abrash Abigail, Cultural Survival Quarterly Magazine, 2001).
Dalam sebuah wawancara, Ketua masyarakat adat Amungme Odizeus Benal berujar "kami telah kehilangan hak-hak dalam menyuarakan gagasan. Kami juga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber saya alam di wilayah kami, termasuk dalam persoalan PT Freeport Indonesia" (CNN Indonesia, 2017).
Ketiga, PTFI dikenal dunia sebagai perusahaan yang royal memberi bantuan keuangan kepada militer Indonesia dalam mengamankan wilayah operasionalnya.
Harian The Jakarta Post, 13 Maret 2003 melaporkan bahwa di tahun 2001 PTFI memberi bantuan sebesar 4,7 juta dollar kepada TNI untuk penempatan 2.300 pasukan, 400 ribu dollar tahun 2002 untuk bantuan pembangunan infrastruktur dan 5,6 juta dollar untuk pengamanan operasionalnya.
Kerjasama dengan TNI dituding banyak pihak telah meningkatkan intensitas pelanggaran HAM di wilayah Papua. Keempat, sejak 1967 PTFI memiliki hak istimewa untuk melakukan kegiatan penambangan tanpa memerlukan dokumen analisis dampak lingkungan. Akibatnya, kerugian lingkungan yang ditimbulkan sangatlah mengerikan.
Menurut hasil audit BPK, negara mengalami kerugian ekologis sebesar Rp 185 triliun.
PTFI membuang limbahnya kedalam hutan, meluap di sungai dan mengotori air sampai ke muara. Kelima, BPK juga menemukan bahwa PTFI ternyata merambah hutan lindung seluas 4,536 HA tanpa izin dan itu melanggar UU No. 19/2004 tentang Kehutanan ( The Jakarta Post, 20 Maret 2018).
Keenam, meski sudah melakukan dua kali perpanjangan kontrak dengan pemerintah, pemegang hak ulayat atas wilayah KK dan IUPK yaitu suku Amungme dan Kamoro tidak dilibatkan dalam proses negosiasi.
Padahal di pasal 135 UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba dinyatakan bahwa "Pemegang IUPK hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah". Isu pelanggaran HAM, tata kelola lingkungan, masa depan suku Amungme dan Kamoro tidak dibicarakan secara terbuka.
Tidakkah memiriskan mengetahui bahwa sekitar 70% suku Amungme dan Komoro hidup di bawah garis kemiskinan?
Dengan kekayaan emas dan perak ditaksir sebesar Rp 2.400 triliun sampai 2041, adalah sangat tidak berperikemanusiaan membiarkan suku Amungme dan Kamoro menari di lingkaran setan kemiskinan.
Kedigdayaan MNC
Multinational Corporation (MNC) sekelas PTFI telah terbukti menunjukkan kesaktiannya. Mendapatkan KK dengan legitimasi yang diragukan, ia berhasil melenggang dan mendikte negara berdaulat selama lebih dari setengah abad. Pun, desakan dari masyarakat internasional untuk perbaikan etika berinvestasi di negara berkembang tidak digubrisnya.
Di bulan Oktober 1995, sebuah lembaga independen yang berbasis di Amerika (Overseas Private Investment Corporation) membatalkan asuransi internasional atas resiko politik PTFI.