News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

PSSI dan Kutukan Sisifus

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

logo PSSI (Football Association of Indonesia)

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Perancis itu, tahun 1942 menulis “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus).

Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yakni mendorong batu ke puncak gunung, namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali.

Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendoroing batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu dorong lagi, begitu seterusnya.Mengapa Sisifus dikutuk? Karena ia mencuri rahasia para dewa.

Nasib Sisifus analog dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Bedanya, Sisifus dikutuk karena mencuri rahasia, sedangkan PSSI “dikutuk” karena menyembunyikan rahasia.

Match fixing (skandal pengaturan skor pertandingan sepak bola) yang saat ini sedang dibongkar Satuan Tugas Antimafia Bola Polri, diduga selama ini sengaja dirahasiakan dan disembunyikan PSSI. Betapa tidak?

Saat Johar Lin Eng, anggota Komite Eksekutif PSSI yang juga Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah, ditangkap Satgas Antimafia Bola sebagai tersangka match fixing, Kamis (27/12/2018), Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi mengaku tidak tahu-menahu soal penangkapan itu. Mantan Pangkostrad yang kini Gubernur Sumatera Utara itu bahkan mencoba lepas tangan. “Itu bukan urusan PSSI,” katanya.

Baca: Soal Satgas Anti Mafia Bola, Edy Rahmayadi: Kalau dari Dulu-dulu Dilakukan, PSSI Bisa Bersih

Padahal tiga hari sebelumnya Satgas menangkap Priyanto, mantan anggota Komisi Wasit PSSI, dan Anik Yuni Artika Sari, anak Priyanto, dan kemudian menangkap pula Dwi Irianto alias Mbah Putih, angota Komisi Disiplin PSSI, Jumat (28/12/2018), dalam kasus yang sama.

Vigit Waluyo, yang disebut sebagai “dedengkot”match fixing, kini sedang “digarap” Satgas setelah menyerahkan diri sebagai tersangka korupsi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Sejatinya, isu tak sedap match fixing di tubuh PSSI sudah merebak sejak tahun 1960-an, dan kini kembali merebak setelah Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) mengembuskan kembali dan kemudian membangun opini publik sedemikian rupa sehingga membuka mata semua pihak. Isu match fixing kian menyengat setelah diangkat Mata Najwa yang berujung pada pembentukan Satgas Antimafia Bola, 22 Desember 2018.

Laporan demi laporan dari masyarakat soal match fixing sudah banyak disampaikan ke PSSI, tapi induk organisasi sepak bola ini terus bergeming. Kalaupun ada respons, cuma sebatas akan menindaklanjutinya.

Ketika anggota Komite Eksekutif PSSI Hidayat disebut Manajer Madura FC Januar Herwanto terlibat match fixing dalam salah satu laga Liga 2/2018, PSSI juga bergeming, sampai akhirnya Hidayat mengundurkan diri.

Bila merujuk pada testimoni anggota Komite Eksekutif PSSI Refrizal dalam acara Mata Najwa bertajuk “PSSI Bisa Apa” di Trans 7, Rabu (28/11/2018) malam, bahwa Edy Rahmayadi pernah menolak suap Rp 1,5 triliun dari mafia bola luar negeri, jelas PSSI bukannya tidak tahu soal adanya match fixing di inner cycle-nya. Ini selaras dengan hukum ekonomi supply and demand.

Saat tampil di “PSSI Bisa Apa” jilid 2 Mata Najwa, Rabu (19/12/2018), mantan Manajer Timnas Indonesia Andi Darussalam Tabusala mengungkap ada oknum dari Malaysia mengatur skor saat Timnas Indonesia menghadapi Malaysia di final Piala AFF 2010. Saat itu Indonesia kalah agregat gol dari Malaysia dalam final yang digelar dua leg.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini