Nyatanya, selama 4 tahun lebih masa pemerintahan Jokowi janji itu hingga saat ini belum ditunaikan lalu kita kembali dibuat riuh dengan pemilihan Presiden 2019 saat ini.
Pertanyaan yang dapat diajukan, apa kebijakan hukum (legal policy) pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu ? menjawab pertanyaan tersebut dapat didekati dengan:
Pertama, dari aspek regulasi. Pemerintahan Jokowi dengan misi menyelesaikan pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan kedalam RPJMN tahun 2015-2019 demikian pula dengan RANHAM pada periode yang sama sehingga terkesan hanya sebagai misi spekulatif tanpa agenda implementatif yang dapt dukur dari strategi akses terhadap keadilan, SDG’s, atau RANHAM sendiri.
Kedua, dari aspek perilaku. Melalui Kemenkopolhukam selalu mengarahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan upaya membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) pada pertengahan 2018 tetapi ditolak oleh korban dan keluarganya juga para aktivis HAM.
Pola ini tidak memiliki payung hukum yang kuat karena UU No. 26 Tahun 2000 memandatkan adanya payung hukum berupa undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (UU KKR) sesuai Pasal 47 UU Pengadilan HAM. Seharusnya UU KKR baru segera dibentuk setelah dibatalkan MK jika menempuh mekanisme nonjudisial dan sesuai dengan standar internasional; dan
Ketiga, dari aspek politik. Sejak awal memang penuntasan pelanggaran HAM berat dimasa lalu tidak diagendakan pemerintahan Jokowi walaupun menjadi janji bombastis saat kampanye pilpres 2014 lalu sebagaimana disampaikan Andi Widjajanto (20/8/2014) sebagai deputi tim transisi Jokowi-JK dan lebih menitikberatkan soal kesejahteraan rakyat dan infrastruktur.
Keengganan politik itu juga nampak dari pernyataan tenaga ahli utama kantor staf Presiden, Ifdal Kasim, yang membandingkan dengan pemerintahan Gusdur yang jatuh karena mencoba mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu dan lebih mengutamakan stabilitas dibanding menyelesaikan kasus HAM.
Ini menunjukkan adanya tekanan politik besar ke Presiden dan mengerdilkan kuasa dan wewenang jabatan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara.
Artinya, Presiden sendiri tidak memiliki kuasa atas tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum dan keadilan bagi korban sebagai kewajiban negara yang wajib dilaksanakan.
Memosisikan Prabowo
Kelemahan terbesar Prabowo dalam kontestasi pilpres adalah soal isu HAM yakni kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998 yang masih hilang hingga saat ini. Kasus itu terus dieksploitasi pada momentum politik dan menghilang seiring usainya pilpres dan akan muncul kembali pada momen yang sama.
Hasil penyelidikan KPP HAM-Komnas HAM pada 30 Oktober 2006 disimpulkan adanya pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan dan penghilangan secara paksa yang sebagian dari perbuatan diatas dilakukan oleh kelompok tim mawar Kopassus di bawah kendali Prabowo. Ia akhirnya diputuskan bersalah oleh DKP dan diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan.
Namun kasus ini belum ada sidang pengadilan HAM yang memutuskan apakah Prabowo terlibat dan bersalah seperti yang distigmakan selama ini yang akhirnya menjadi liar kemana-mana dan tanpa penyelesaian tuntas.
Dilihat dari visi misi soal HAM pasangan Prabowo-Sandi memang terkesan dihindari dan sama sekali tidak disinggung apalagi membangun strategi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Jika Prabowo memang bersih dan tidak terlibat dalam kasus penculikan mestinya diklarifikasi ke publik secara terbuka dan berani menghadapi serta mendorong persidangan pengadilan HAM tersebut. Semakin dia menghindari maka publik akhirnya bisa memercayai keterlibatannya.