Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Sejarah adalah milik penguasa.
Penguasalah yang menentukan jalannya sejarah, dan penguasa pulalah yang menentukan bagaimana sejarah itu ditulis.
Saat rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto berkuasa, hari lahir Pancasila misalnya, diasumsikan pada 18 Agustus 1945 bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut “Dokuritsu Junbi Inkai”, atau pada 22 Juni 1945 saat Piagam Djakarta atau Djakarta Charter berhasil dirumuskan Badan Persiapan Usaha-usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut “Dokuritsu Junbi Chōsakai”.
Saat rezim Orde Baru tumbang dan kekuasaan beralih ke rezim lain, hari lahir Pancasila kemudian “dikoreksi” menjadi 1 Juni 1945 saat Ir. Soekarno menyebut kata Pancasila dalam pidatonya di sidang BPUPKI.
Inilah yang melandasi lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila.
Memang, istilah Pancasila baru diperkenalkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945.
Tetapi masih ada proses selanjutnya, yakni menjadi Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945, dan penetapan UUD 1945 yang juga finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945.
Baca: Hari Ini Supersemar Lahir, Awal Berkuasanya Soeharto Selama 32 Tahun
Sebab itulah, pemerintahan sekarang ini menganggap proses lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945 sebagai satu kesatuan.
"Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni," demikian bunyi Perpres No. 24/2016 itu.
Lalu, Serangan Umum 1 Maret 1949, yang semasa rezim Orde Baru diklaim sebagai inisiatif Soeharto, setelah rezim Orde Baru tumbang kemudian muncul versi lain, yakni ide Serangan Umum 1 Maret 1949 berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI arahan sutradara Arifin C. Noer yang dianggap sebagai versi resmi rezim Orde Baru, begitu rezim Orde Baru tumbang pun kemudian muncul versi-versi lainnya yang menggugat kebenaran versi Orde Baru itu.
Itulah sejarah, dan kebenaran sejarah itu nisbi atau relatif, tergantung dari sudut mana kita memandang.
Kini, sejarah yang tak kalah kontroversialnya adalah Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan sebutan “Super Semar”, yakni surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Kontroversi bukan hanya menyangkut isi dan proses kelahirannya, melainkan juga keberadaannya yang hingga 53 tahun berselang belum pasti di mana rimbanya.
Super Semar inilah yang digunakan Soeharto untuk membangun dan melegitimasi kekuasaannya selama 32 tahun.
Seperti dilansir banyak media, saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Super Semar.
Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat, dan terakhir hanya berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan.
Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh para sejarawan, dan hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Super Semar itu.
Menurut M. Asichin, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) periode 2010-1013, terdapat tiga versi Super Semar yang ada di ANRI, yakni kedua surat berkop Burung Garuda dan yang satu lagi tanpa kop surat.
Akan tetapi, ketiga versi Super Semar tersebut dianggap palsu karena surat kepresidenan seharusnya berkop padi dan kapas.
Bagaimana proses kelahiran atau penandatanganan Super Semar itu?
Mengutip dari berbagai sumber, awalnya Bung Karno dilarikan ke Istana Bogor setelah Sidang Kabinet Dwikora pada 11 Maret 1966 di Istana Merdeka, Jakarta, dikepung oleh 'pasukan liar' yang kemudian diketahui pasukan Kostrad.
Di Istana Bogor, Bung Karno dihampiri tiga orang jenderal utusan Soeharto.
Ketiga jenderal tersebut ialah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Panglima Divisi (kini Kodam) Brawijaya, Jawa Timur, Brigadir Jenderal M. Jusuf, Panglima Divisi Hasanuddin, Sulawesi Selatan, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud, Panglima Divisi Jakarta Raya.
Sejarah kemudian mencatat buram apa yang terjadi di Istana Bogor. Yang jelas, sepulang ke Jakarta, ketiga jenderal itu telah mengantongi Super Semar untuk diserahkan kepada Soeharto.
Lalu, bagiamana isinya? Super Semar tidak secara eksplisit menyebut penyerahan kekuasaan dari Bung Karno kepada Soeharto. Bahkan dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966, Bung Karno mengecam pihak yang telah mengkhianati perintahnya.
Tidak itu saja, konon Bung Karno juga menerbitkan Surat Perintah 13 Maret 1966 untuk menganulir Super Semar. Bung Karno menekankan Super Semar bukan "transfer of authority” atau peralihan kekuasaan, melainkan sekadar surat perintah.
Faktanya, dengan Super Semar itu, Soeharto kemudian membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkapi anggota Kabinet Dwikora yang dituduh berhaluan PKI. Bung Karno kemudian “ditahan” di Wisma Yaso, kini Pusat Sejarah TNI di Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta.
Kekuasaan Bung Karno pun dilucuti, misalya “diasingkan” dari percaturan politik di Jakarta, dilarang membaca koran dan mendengarkan siaran radio, serta kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi.
Di pihak lain, Soeharto mulai menancapkan kuku-kuku kekuasaannya dengan membentuk Kabinet Ampera serta membentuk dan membujuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk mengesahkan Super Semar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Semar adalah tokoh dalam pewayangan yang dipersonifikasikan sebagai dewanya para dewa, sehingga kekuasaannya pun melebihi dewa. Adapun arti kata “super” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “lebih dari yang lain”, “luar biasa”, atau “istimewa”.
Mungkin demikianlah Pak Harto menafsirkan Super Semar itu, sehingga ia merasa punya kekuasaan yang super, bahkan melebihi Semar atau Semar yang super.
Berbagai argumentasi mengenai kebenaran Super Semar telah coba diungkapkan oleh berbagai pihak, termasuk para sejarawan.
Akan tetapi argumentasi-argumentasi tersebut hingga kini belum mampu meyakinkan apalagi membuktikan kebenaran dari Super Semar itu, baik menyangkut keaslian atau keotentikan surat, proses yang terjadi saat itu, maupun alasan kuat mengapa Bung Karno mau menandatangani surat yang akhirnya menjadi bumerang itu, apakah karena ada intimidasi atau tidak.
Kini, bola ada di tangan Presiden Jokowi, apakah ia akan menulis sejarah tentang Super Semar atau tidak. Meskipun sejarah milik penguasa, namun kita berharap bila Presiden Jokowi hendak menulis sejarah tentang Super Semar, maka harus dilakukan secara obyektif dengan melibatkan para pakar dan sejarawan yang kredibel, berintegritas dan independen. Hasilnya kemudian dilakukan uji publik di kampus-kampus.
Dengan demikian, kebenaran sejarah menyangkut Super Semar akan terungkap secara terang-benderang, tak ada lagi kabut misteri yang menyelimutinya.
Ataukah menunggu datangnya kebenaran tentang Super Semar ibarat menunggu Godot yang tak jelas kapan datangnya? Wallahu a’lam!
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.