Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mungkin karena melihat banyak pejabat negara korupsi, maka pejabat di tingkat desa pun berlomba-lomba korupsi. Mereka secara berjamaah mengembat Dana Desa.
Sebuah media melansir, berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kupang, Januari 2017-April 2019, sebanyak 24 kepala desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti melakukan korupsi Dana Desa dan Aloksi Dana Desa (ADD). Akibatnya, negara rugi hingga miliaran rupiah.
Di sisi lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tahun 2018 ada 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa. Sebanyak 158 terdakwa atau 13,61% di antaranya berprofesi sebagai kepala desa dan perangkat desa.
Kerugian akibat korupsi Dana Desa tahun 2018 lebih dari Rp 40 miliar.
Dengan jumlah tersebut, kepala desa dan perangkat desa menempati posisi ketiga profesi yang paling banyak melakukan korupsi, setelah pejabat pemerintah provinsi/kota/kabupaten di peringkat pertama dengan 319 terdakwa atau 27,48%, dan pihak swasta dengan 242 terdakwa atau 20,84% di peringkat kedua (Tribunnews.com, Minggu 28 April 2019).
Sejak bergulir tahun 2015 hingga saat ini, Dana Desa yang sudah digelontorkan pemerintah sebesar Rp 257 triliun, dengan rincian Rp 20,67 triliun (2015), Rp 46,98 triliun (2016), Rp 60 triliun (2017), Rp 60 triliun (2018), dan Rp 70 triliun (2019).
Lima tahun ke depan Dana Desa akan mencapai Rp 400 triliun. Dana ini disalurkan ke 74.954 desa di seluruh Indonesia.
Tahun 2015, ada 17 kasus korupsi Dana Desa, 2016 meningkat menjadi 41 kasus, dan 2017 melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus.
Maraknya korupsi Dana Desa tersebut mengundang sindiran dari almarhum KH Hasyim Muzadi, saat itu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), bahwa korupsi masuk desa.
Mengapa Dana Desa rawan korupsi? Selain transparansi dan pengawasan yang kurang, kapasitas kepala desa dan perangkat desa juga relatif rendah.
Efek Jera
Di pihak lain, ICW mencatat sepanjang 2018 vonis terhadap rata-rata putusan terdakwa pidana korupsi pada seluruh tingkat pengadilan masih dalam kategori ringan.
Hal itu terlihat dari rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap terdakwa yang dituntut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam 4 tahun 7 bulan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan atas terdakwa yang penuntutannya dilakukan oleh kejaksaan adalah 2 tahun 2 bulan.