Lalu, bagaimana respons Gibran, Kaesang dan Bobby ketika nama mereka masuk bursa calon walikota? Ketiganya seakan kompak menyampaikan ucapan terima kasih.
Namun untuk benar-benar maju atau tidak, Bobby mengaku akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan keluarga. Artinya, Bobby tak menolak jika dicalonkan menjadi walikota Medan.
Sedangkan Gibran, dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Senin (29/7/2019) malam, menyatakan, seorang pengusaha bisa dengan mudah menjadi politisi, tapi seorang politisi belum tentu bisa menjadi pengusaha.
Artinya, Gibran pun tidak menolak jika ada yang mencalonkan dirinya sebagai walikota Surakarta. Selama ini Gibran, Kaesang dan Bobby memang lebih dikenal sebagai pengusaha.
Adapun Presiden Jokowi mempersilakan anak-anaknya bila mau terjun ke dunia politik, karena ketika anak-anaknya memilih menjadi pengusaha, Jokowi pun tak pernah memaksa atau melarang. Sebagai orang tua, Jokowi mengaku akan mendukung langkah yang diambil anak-anaknya.
Akankah Jokowi menggunakan “aji mumpung” dengan merestui pencalonan Gibran atau Kaesang dan Bobby, dan mumpung (senyampang) masih berkuasa lalu ia gunakan kekuasaannya itu untuk mengondisikan agar Gibran atau Kaesang dan Bobby terpilih?
Kita tidak tahu. Yang jelas, jika Jokowi tetap ingin menjadi politisi unik yang berbeda dengan politisi-politisi lainnya yang cenderung membangun dinasti politik, dengan menerjunkan anak-anaknya ke dunia politik sebagaimana Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Ratu Atut Chosiyah dan lain-lain, tentunya ia akan berpikir seribu kali sebelum membiarkan anak-anaknya terjun ke dunia politik.
Apalagi jika Gibran atau Kaesang dan Bobby maju dan kemudian kalah, maka akan mempermalukan atau sekurang-kurangnya menurunkan marwah Jokowi sebagai Presiden.
Di basis PDIP dan pendukung Jokowi seperti Surakarta, mungkin Gibran atau Kaesang akan menang. Tapi di Medan, apakah Bobby akan menang, meskipun ia berasal dari Sumut? Katakanlah menang, tapi siapkah Jokowi dicap sebagai politisi yang hendak membangun dinasti?
Masih lekat dalam ingatan kita ketika Kahiyang Ayu tidak lolos seleksi calon Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Surakarta. Sedikit atau banyak, hal itu berpengaruh terhadap track recordsatau rekam jejak keluarga Jokowi.
Atau Kahiyang memang “sengaja” tidak diloloskan demi pencitraan politik Jokowi? Tidak lolosnya Kahiyang membuktikan bahwa Jokowi sebagai Presiden terbukti tak pernah melakukan intervensi terhadap instansi mana pun dalam penerimaan pegawai. Jangankan untuk orang lain, untuk putrinya sendiri saja Jokowi tak mau melakukan intervensi. Mungkin demikianlah citra yang terbangun.
Popularitas juga tidak selalu paralel dan sebangun dengan elektabilitas. Buktinya Rhoma Irama. Siapa warga Indonesia yang tak mengenal Raja Dangdut ini? Namun, ketika bos Soneta Group itu terjun ke dunia politik, bukannya untung malah buntung. Rhoma sering gagal melaju ke Senayan.
Mungkin ada baiknya jika Presiden Jokowi mempertimbangkan “saran” Raden Ngabehi Ranggawarsita (14 Maret 1802–24 Desember 1873, pujangga dari Kasunanan Surakarta) dalam Serat Sabdatama pupuh Gambuh bait ke empat dan lima berikut ini:
Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung anggoroh